Sepeda motor menjadi salah satu alat angkut utama bagi mahasiswa di kawasan Bulaksumur. Dulu, parkir terdesentralisasi, terdapat di masing-masing fakultas atau UPT. Beberapa tahun terakhir, terdapat kebijakan untuk mensentralisasi parkir. Portal kemudian dijadikan satu, misalnya di Jalan Sosio Humaniora. Beberapa jalan menuju kawasan Bulaksumur juga dipasang portal. Akibatnya, kadang terjadi penumpukan pengantre bermotor yang hendak keluar kawasan.
Satu hal yang saya amati cukup menghambat pemeriksaan karcis parkir adalah karcis yang di-uwel-uwel. Petugas di pintu pemeriksaan membutuhkan waktu cukup lama untuk membuka dan membaca nomor kendaraan yang tertulis. Antrian motor atau mobil pada pintu pemeriksaan tidak terhindarkan lagi.
Mungkin pemeriksaan akan lebih cepat kalau kita membiasakan menyimpan karcis parkir dengan baik, kemudian memberikan pada petugas dengan posisi tulisan di atas, menghadap kepada petugas. Untuk lebih cepatnya lagi, karcis (semoga) bisa diberikan dengan tangan kiri tanpa dianggap melanggar sopan santun–saya masih risih dengan menggunakan tangan kiri untuk memberikan sesuatu.
Selain sebaiknya tidak di-uwel-uwel, karcis juga jangan diberikan dalam bentuk origami. Meskipun mungkin indah, waktu yang dibutuhkan untuk membuka lebih lama lagi…. [z]
kiri: sebaiknya ya, tengah: sebaiknya jangan, kanan: apalagi yang ini!
Apa yang salah dengan berjabat tangan alias salaman? Justru aktivitas ini dianjurkan.
Namun ketika disalami oleh peserta Ujian Masuk UGM hari Minggu kemarin, saya sempat kaget. Di akhir waktu ujian, saya sebagai penanggung jawab ruang mengucapkan selamat berpisah kepada para peserta dan sampai jumpa di tanggal 18 Agustus, yaitu hari penerimaan mahasiswa baru oleh rektor. Sejurus kemudian, para peserta ujian keluar ruang sambil menyalami kami para penjaga.
Rasanya mahasiswa saya tidak pernah bersalaman dengan dosennya saat masuk atau keluar kelas.
Saya kemudian teringat penelitian Mas Heri dari Fakultas Filsafat UGM, yang menyarankan agar guru-guru sekolah bersalaman dengan para murid, tentunya dengan sepenuh hati, untuk mengurangi tindak kekerasan di sekolah.
Barangkali, saya perlu bersalaman juga dengan para mahasiswa peserta kuliah, mulai semester depan. [z]
Rasanya, semua orang Indonesia mengenal soto, makanan yang utamanya adalah sayur dengan kuah kaldu, atau mungkin terbalik: kuah kaldu dengan sayur di dalamnya. Biasanya juga disertakan daging, baik itu daging ayam atau daging sapi.
Rasanya juga, soto dapat ditemui di sembarang tempat di Indonesia. Di Yogyakarta, makanan ini lebih mudah ditemui daripada makanan yang dianggap khas, yaitu gudeg. Di sembarang penggal jalan biasanya terdapat penjual soto, baik yang menggelar jualannya dalam restoran, warung, warung tenda, maupun yang berkeliling dengan gerobak dorong.
Soto juga mudah ditemui nyaris sepanjang waktu. Di pagi hari, para kita dapat menemui penjual soto daging ‘biasa’ di pinggir-pinggir jalan. Agak siang sedikit, warung-warung dan restoran soto buka hingga sore, atau hingga ‘soto habis’. Di malam hari, soto a la Jawatimuran mendominasi lagi pinggir jalan dengan tenda-tendanya. Larut malam, setelah pukul sebelas memang sulit menemukan lagi penjual soto. ((Saking populernya soto, makanan yang satu ini–bersama rawon–bahkan dituduh menjadi penyebab banjir di Surabaya. metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/21/1/124631/Pramono-Yakin-Kuah-Soto-dan-Rawon-Pemicu-Banjir))
Dari hanya memperhatikan nama-namanya, kita dapat meraba kekayaan kita akan kuliner yang satu ini.
Indikasi geografis dan sebaran
Sebaran soto yang merata dari Sabang sampai Merauke (mungkin), bisa dilihat dari nama-nama soto: soto aceh, soto padang, soto bandung, soto betawi, soto pekalongan, soto kudus, soto semarang, soto sukaraja, soto blora, ((Soto blora dilengkapi dengan klethuk, gorengan getuk ketela yang dipotong dadu)) soto lamongan, soto madura, soto banjar, soto makassar ….
Ragam lokal juga terlihat dari beragamnya nama: soto, sroto (Banyumas), taoto/saoto (Pekalongan), atau coto (Makassar). Dengan ragam material yang mirip, kita juga dapat menjumpai makanan yang bernama timlo, yang digemari para putri Solo itu. Bahkan, salah satu buku resep makanan di Indonesia yang berjudul Soto, memasukkan rawon, makanan berkuah hitam dari Jawa Timur itu.
Indikasi geografis tersebut tidak sekedar berhenti pada nama. Soto dari masing-masing wilayah tersebut memiliki keragaman antara lain dalam komposisi bahan. Akan tetapi, kelihatannya hal tersebut tidak banyak berlaku bagi indikasi ‘sub-geografis’.
Di Yogyakarta misalnya, terdapat nama-nama (penjual) soto dengan indikasi sub-geografis semacam itu. Setidaknya ada Soto Kadipiro (dari kawasan Kadipiro), Soto Mlati (dari daerah Mlati, Sleman), Soto Sawah (karena di dekat sawah). Tidak terdapat perbedaan konten yang mencolok di antara soto-soto tersebut.
Termasuk kategori terakhir ini adalah: soto ambengan (Jl. Ambengan, Surabaya), soto sulung (Jl. Sulung, Surabaya), Soto Lombok (Jl. Lombok, Malang), dan Soto Bangkong (Bangkong, Semarang).
Sebagian nama jenis soto tersebut adalah nama diri warung. Sebagian menjadi nama jenis soto. Soto sulung, misalnya, dapat ditemui di Stasiun KA Tugu, Yogyakarta, tanpa merujuk kepada suatu tempat di Surabaya sono. Kita juga dapat menemukan soto tersebut di buku-buku resep masakan.
Soto dengan para pengiringnya, di suatu warung di sekitar Kalasan, Yogyakarta.
Ragam materi penyusun
Bahan penyusun soto sangat beragam, mulai dari yang sederhana hingga yang sangat kompleks seperti soto sukaraja. Saking sederhananya, soto tipe minimalis sering dinyatakan secara sinis sebagai ‘rendaman kubis’.
Keragaman soto juga diindikasikan dengan kandungan material tambahan, seperti soto lenthuk (sebangsa perkedel berbahan ketela pohon) dari Gunungkidul, atau soto kriuk(potongan gorengan berasa ayam) yang dapat dijumpai di salah satu stasiun di ibukota.
Mie, sulur kaya karbohidrat itu juga menjadi materi penting dalam makanan ini, sehingga muncul soto mi (yang di kompleks FKUI Salemba diberi tambahan indikasi geografis Bogor menjadi soto mi bogor). Mi kuning sangat dominan dalam soto mi tersebut. Sementara, di wilayah Bogor juga populer nama soto kuning, yang memberi kunyit baik pada kuah maupun pada daging.
Soto juga dibedakan berdasarkan kandungan dagingnya, terutama soto ayam dan soto sapi. Di warung-warung soto Jawa Timuran juga terkenal soto babat, yang menggunakan materi jeroan sapi bertekstur itu. Sementara itu, di wilayah Kudus, Jawa Tengah, dikenal soto kerbau, berkait dengan budaya masyarakat yang secara tradisional menghindari penyembelihan sapi. ((Jika kata “soto” merupakan pengaruh dari Cina, cou-dou, maka konon itu dapat berarti “babat”.))
Salah satu kuliner Jawa Timur yang terkenal adalah rujak cingur. Makanan ini adalah rujak yang juga menggunakan materi daging dari bagian mulut sapi di samping buah-buahan sebagaimana umumnya. Akantetapi kombinasi semacam itu belum cukup. Di Banyuwangi konon terdapat rujak soto, percampuran antara rujak cingur dan soto babat!
Perkara percampuran ini rujak soto tidak sendirian. Bagi saya, soto sukaraja itu juga campuran, yaitu antara soto dan pecel!
Aspek teatrikal
Perangkat berjualan juga dapat dilekatkan pada nama soto. Muncullah misalnya soto kwali, yang menggunakan kuali sebagai tempat kuah soto, meski rasanya lebih berfungsi sebagai aksesoris daripada serius sebagai tempat mempersiapkan makanan ini.
Tidak hanya soto kuali yang menampilkan wadah tembikar dalam warungnya. Angkringan, atau perangkat portabel berupa pikulan untuk berjualan soto juga sering disertakan sebagai aksesori meskipun mereka membuka warung secara menetap.
Mengenal ‘soto gebrak‘? Di Jakarta terdapat beberapa warung soto yang juga menampilkan menambahkan efek teatrikal berupa suara khas dalam penyajiannya. Si peracik soto selalu meletakkan botol kecap dengan keras di atas meja sehingga menimbulkan bunyi keras: “braaak”.
Di Surabaya terdapat ‘soto kalkulator‘ yang bukan karena kecempelungan alat hitung elektronik itu. Para pelayan menghitung harga yang harus dibayar oleh pembeli secara ndremimil dan dalam tempo yang cepat seperti kalkulator.
Entah, apakah efek-efek ini berhubungan dengan rasa soto …
***
Masih menyimpan pertanyaan: soto rumput (Boyolali), soto ranjau … Juga soto dengan nama orang: Soto Pak Soleh, Soto Bu Cip, Soto Pak Marto … Atau soto pisah dan soto campur. [z]
PG Gondangbaru terletak di Gondangwinangun, di jalan Yogya-Solo, beberapa kilometer di sebelah barat daya kota Klaten. Dahulu, PG ini bernama Gondang Winangoen Suiker Fabriek, sebuah pabrik gula peninggalan Hindia Belanda. Pabrik ini telah berdiri pada akhir abad ke-19, ketika pemerintah Hindia Belanda tengah gencar melaksanakan liberalisasi di Nusantara.
Setelah beroperasi sekitar satu abad, pada tahun 1982 kompleks pabrik ini juga dikembangkan sebagai daya tarik wisata. Oleh karena itu, di kompleks ini kemudian terdapat museum, pabrik, homestay, kafe, gedung pertemuan, serta sebuah taman bermain. Pada pertengahan tahun 2010, dengan membayar karcis Rp. 4.000,00, pengunjung dapat menikmati kompleks museum juga pabrik gula. Sementara itu, untuk layanan lainnya pengunjung harus membayar tersendiri, misalnya untuk memotret.
Di museum, pengunjung dapat melihat berbagai peralatan yang digunakan oleh perkebunan tebu dan pabrik gula Gondang Baru, dan juga paparan tetang pabrik-pabrik gula lain di Jawa Tengah. Museum ini memang bernama Museum Gula Jawa Tengah. Tidak terpisahkan dari museum adalah perpustakaan, dengan koleksi buku-buku lama tentang perkebunan gula, juga penelitian-penelitian mutakhir seperti skripsi para mahasiswa. Di ujung barat kompleks ini juga dibangun taman bermain, yang kelihatannya tidak begitu nyambung dengan tema gula atau tebu atau pabrik sekalipun. Tema gula dan tebu mestinya dapat dikembangkan untuk theme park semacam ini.
Fasilitas lain yang terlalu sayang untuk dilewatkan adalah Kafe Banaran. Fasilitas ini terletak di bagian depan, di dekat pintu masuk. Oleh karena itu, masyarakat juga dapat hanya berkunjung ke kafe tanpa harus mengunjungi museum atau pabrik gula.
Cukup murah, dengan Rp. 4.500,00 kita dapat menikmati secangkir kopi hitam Banaran yang sayang siang itu terlalu manis. Mungkin karena gulanya tinggal mengambil dari pabrik … Suvenir dari kafe ini antara lain kopi satu ons seharga Rp 9.000,00 atau teh hitam seharga Rp 5.000,00 sementara yang versi teh celup seharga Rp 9.000,00 juga. Entah kenapa tidak ada suvenir berupa gula di sini (gedung suvenir yang terletak di antara kafe dan homestay masih belum siap dibuka waktu itu). Yang cukup khas untuk dinikmati dari tempat ini antara lain adalah ketela madu dan ketela keju.
Mengunjungi pabrik, sebaiknya dilakukan ketika musim giling yang selama empat bulan itu. Di pabrik, pengunjung berjalan di atas mesin-mesin raksasa, sehingga rasanya agak mengkhawatirkan jika mengajak anak-anak untuk melihat pabrik ini.
Di hari Ahad, wisatawan dapat juga naik lori yang ditarik oleh lokomotif uap buatan Jerman tahun 1931, yang dahulu digunakan untuk mengangkut tebu dari kebun ke pabrik. Kereta yang diberi nama Gendhis Manis ini sengaja dioperasikan untuk wisatawan. Jalur lori wisata ini mengitari kompleks pabrik gula Gondang Baru. [z]