Batik, Tokoh, Karya
[]
I. Pendahuluan
Berbicara tentang tokoh dan karya, saya tertarik untuk mencoba meletakkan semua itu dalam satu kerangka. Pertanyaan besar di sini adalah mengapa terdapat beragam gaya?
Batik, meskipun tidak begitu jelas asal-usulnya, dipercaya telah ada sejak lama di Indonesia, atau barangkali di negeri-negeri lain.
Batik dapat dipahami sebagai motif, kain, atau sebagai teknik. Dalam makalah ini, tiga hal tersebut akan digunakan secara bergantian tergantung kepada kebutuhan.
II. Dimensi Seni
Keragaman gaya dapat diakibatkan oleh ruang, waktu, bahan, serta seniman.
A. Ruang
Berbicara mengenai motif batik, biasanya akan segera mengingat beberapa wilayah penghasil batik utama, seperti Yogyakarta-Surakarta yang disebut dengan batik pedalaman yang dikontraskan dengan batik pesisiran. Batik pedalaman dianggap lebih konservatif dengan warna-warna yang terbatas. Sementara itu, batik pesisiran lebih dinamis karena terbuka terhadap budaya lain, terutama budaya Cina, serta menggunakan warna yang lebih beragam.
Masing-masing daerah memiliki ciri khas, meskipun seringkali terdapat saling pengaruh di antara daerah-daerah tersebut
Pengelompokan berdasar keruangan misalnya dilakukan ketika menyebut batik Yogya, batik Solo, batik Banyumas, dan sebagainya. Masing-masing daerah memiliki ciri khas, meskipun seringkali terdapat saling pengaruh di antara daerah-daerah tersebut.
Keterikatan pada lingkungan dapat membuat kekhasan tersebut. Sebagai seni tradisional, motif batik diilhami oleh alam lingkungan tempat seniman berada. Motif-motif bernafaskan kelautan misalnya, akan banyak dieksplorasi oleh seniman di daerah pesisir daripada di pedalaman. Motif pedalaman juga mengeksplorasi apa yang ada di lingkungannya, seperti alas-alasan, atau jahe.
B. Waktu
Penggolongan batik secara kronologis dilakukan misalnya oleh Amri Yahya (1985). Ia menyusun lima kelompok batik, yaitu: 1) periode perkembangan motif, yaitu masa konsolidasi motif primitif menuju motif-motif pada kain (penggunaan pola geometris), 2) periode penyempurnaan motif yang berlangsung pada masa Hindu-Buddha, 3) periode ornamentik atau masa pematangan yang berlangsung pada saat pengaruh kesenian Islam, 4) periode klasik, yaitu saat diangkatnya beberapa motif batik tradisional menjadi klasik, serta 5) masa revolusi ekspresi.
Perkembangan kronologis lainnya adalah adanya kecenderungan untuk komersial di pada masa kolonial. Menurut catatan Soedjoko (1983 via Yahya 1985), sejak tahun 1603 orang Belanda mengambil batik sebagai komoditas dari Jawa yang dijual ke berbagai pulau seperti Jambi, Maluku, Kalimantan (Kutai), Nusa Tenggara, dan sebagainya, bahkan sampai ke India dan Eropa. Batik menjadi komoditas penting Bahkan hingga sekitar akhir tahun 1990-an, karena batik adalah salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako). sehingga produksinya perlu dilakukan secara sistematis dan massal. Muncul perusahaan-perusahaan batik, baik pribumi, Cina, maupun Eropa Perusahaan batik Eropa mulai merambah Yogyakarta pada sekitar pergantian abad ke-18/19. (Loghuisen via Suyanto 2002: 58). , didukung dengan penemuan teknik cap pada pertengahan abad ke-19 dan pewarna sintetik pada awal abad ke-20 yang membuat batik semakin banyak dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Kemudian, batik sebagai sarana ekspresi menguat pada tahun 1970-an, dan kini dipungkasi dengan revivalisme batik kembali sebagai bahan busana. Jika pada masa tahun 1970-an batik sebagai sarana ekspresi layaknya seni lukis (sehingga batik hanyalah media), maka pada masa-masa akhir terlihat batik kembali sebagai bahan busana dengan eksplorasi motif-motif tradisional.
C. Media
Media dapat dilihat sebagai jenis bahan yang diberi (motif dan teknik) batik, dapat pula berarti bentuk seperti kain panjang, baju, atau perlengkapan rumah tangga (interior). Batik diterakan pada bahan mulai dari kain hingga kayu, pada “bentuk” mulai dari kain sinjangan, bahan baju, kain pendek untuk lukisan, hingga interior dan perlengkapan lain.
D. Seniman
Batik tradisional dikerjakan secara komunal. Yang membuat pola, yang mencanting malam, mencelup, adalah orang-orang yang berbeda. Yang kuat di sini adalah ikatan budaya suatu komunitas. Oleh karena itu, sulit untuk menyatakan satukarya batik sebagai karya individu tertentu. Diskusi tentang hal ini masih mengemuka ketika mempermasalahkan ‘seni lukis’ batik yang sebagian pengerjaannya juga diserahkan kepada orang lain: kriya atau seni.
Meskipun demikian, identitas penghasil batik dapat dirunut dari gaya, baik komunal maupun individual. Bagi para pengamat perkembangan batik saya rasa akan dengan mudah mengenali suatu gaya individual, setidaknya suatu kelompok terbatas satu juragan batik.
Perkembangan batik sebagai karya indivisual ditandai dengan adanya klaim atas desain, yang semakin eksplisit dengan membubuhkan nama diri perajin/seniman pada kain batik. Rasanya, para perajin peranakan Cina dan Eropa memulai tradisi ini. Perkembangan ini lebih jelas pada seni lukis batik. Sejak masuk ke Indonesia, seni lukis sebagaimana pengertian Barat, sudah merupakan karya individual.
Berdasarkan seniman pembuatnya, terdapat Batik Belanda atau Batik Cina. Sebutan itu muncul secara tidak langsung karena dibuat oleh kalangan perajin/pengusaha Belanda atau Cina, dan sekarang dikenali dari ciri fisik batik yang dihasilkan.
Pada suatu saat di Yogyakarta pernah mengambil gaya seni art nouveau, seni baru, atau nieuw kunst. Di Eropa, seni ini merupakan perlawanan dari seni tradisional yang pada waktu itu menjenuhkan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
Ignacio Bernal pada tahun 1969 (via Nugrahani 1998: 21) membedakan antara tribal art dan non-tribal art. Kategori terakhir sering disebut juga dengan seni Barat (Western art) dan seni kontemporer. Menurutnya, identitas individu atau pribadi seniman pada seni Barat atau kontemporer merupakan hal yang penting, sebab karya seni merupakan milik pribadi seniman. Sementara itu, seniman tribal dianggap tidak memiliki identitas pribadi karena hasil karyanya adalah milik masyarakat. Lebih lanjut Fischer (1971 via Nugrahani 1998: 21) menyatakan bahwa kreativitas seniman tribal telah dipasung karena masyarakat dan budaya yang melatarbelakangi sebagai pengontrol seni. Akibatnya, karya seni yang dihasilkan adalah homogen dan tidak seperti seniman Barat yang memiliki kebebasan penuh dalam berkreasi.
Gaya komunal dapat juga dilihat pada batik yang dihasilkan oleh komunitas muslim. Di beberapa kasus, masyarakat Islam menafsirkan ajaran dengan menghindari penggambaran makhluk hidup. Yahya (1985: 46) menyebut evolusi motif garuda yang dulu menjadi tunggangan dewa menjadi gurdha dan lar pada batik yang digunakan oleh para priyagung kraton sebagai upaya penafsiran ini. Batik Rifaiyah, suatu komunitas muslim di Kabupaten Batang, pantai utara Jawa Tengah, juga khas karena meskipun pesisiran (dan memasukkan juga unsur-unsur pedalaman), menghindari penggambaran makhluk hidup (Astuti 2009). Dalam kasus ini, budaya (Islam) mendorong pembentukan suatu motif khas.
E. Entitas tertentu
Suatu entitas kebudayaan menjadi pendorong yang cukup kuat untuk motif-motif batik. Dalam kategori ini dikenal batik kraton, batik saudagaran, serta batik petani. Dalam setiap kategori terdapat percampuran antara waktu, ruang, media, serta seniman. Batik kraton oleh Doellah (2002) dilawankan dengan batik sudagaran dan batik petani. Menurut Doellah, yang disebut batik kraton adalah batik yang berkembang di kraton-kraton Surakarta, Mangkunegaran, Yogyakarta, Pakualaman, Cirebon, serta Sumenep. Batik-batik ini memiliki ciri khas.
Kraton juga membuat peredaran motif-motif tertentu menjadi terbatas, misalnya dengan membuat aturan seperti HB I yang menyatakan parang rusak sebagai motif larangan (Ricklefs via Condronegoro 1995: 18-19), PB III yang menyatakan beberapa motif Yaitu sawat, parangrusak, cumangkiri dengan calacap, modang, bangun-tulak, lenga-teleng, daragem dan tumpal. Sementara itu, cumangkiri dengan calacap (cumangkirang ingkang acalacap) lung-lungan atau kekembangan, diperbolehkan dikenakan oleh patih, sentana, serta wedana. sebagai motif larangan (Soedjoko via Yahya 1985: 53), HB VIII dengan “Pranatan Dalem Bab Jenenge panganggo Keprabon ing Nagari Ngajogjakarta Hadiningrat” yang menyatakan bahwa motif tertentu hanya boleh dikenakan oleh kalangan tertentu pula,
III. Penutup
Pada dasarnya unsur-unsur kebudayaan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, dimensi-dimensi seni juga tidak berdiri sendiri-sendiri (independen), melainkan berkaitan juga dengan dimensi lain.
Pada dasarnya batik adalah media berkreasi yang memiliki kemungkinan cukup luas. Oleh karena itu, batik dipercaya dapat berkembang mengikuti zaman. [z]
Daftar Pustaka
Astuti, Soekma Y. 2009. “Batik Rifa’iyah Menyatakan Identitas”. Gong X (106): 20-21.
Condronegoro, Mari S. 1995. “Busana Adat Kraton Yogyakarta 1877-1937: Makna dan Fungsi dalam berbagai Upacara”. Yogyakarta: yayasan Pustaka Nusatama.
Doellah, Santoso 2002. Batik: Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Solo: Danar Hadi.
Nugrahani, D.S. 1998. “Identitas Etnis versus Identitas Individu pada Karya Seni Asmat”. Artefak 19: 21-24.
Suyanto, A.N. 2002. Sejarah Batik Yogyakarta. Yogyakarta: Merapi
Yahya, Amri 1985. “Sejarah Perkembangan Seni Lukis Batik Indonesia”. Aspek Ritual dan Kreativitas dalam Perkembangan Seni di Jawa. Yogyakarta: Javanologi, hlm. 43-64.