Sensasi dan Antrean
/
Akhir November 2011. Di Jakarta terjadi ricuh penjualan satu varian dari merek telepon seluler yang terkenal, yang nama julukannya di telinga saya bersajak dengan “di radio”. Barang tersebut dijual perdana di Indonesia, dan diiklankan bahwa diberikan korting lima puluh persen untuk seribu batang ponsel tersebut.
Apa kira-kira yang hendak dicapai dengan penjualan setengah harga? Merayakan peluncuran perdana ponsel seri tersebut? Baik hati karena berlebih dana, atau lebih bersifat sosial, seperti menghargai konsumen, atau menghibur rakyat yang kira-kira sedang dilanda susah dan gundah (setidaknya susah karena direngeki anaknya yang masih SD minta ponsel populer merek tersebut)?
Entahlah, tetapi yang namanya perusahaan komersial mesti tujuannya adalah mencari keuntungan. Dengan korting lima puluh persen, harga ponsel turun dari 4,6 juta menjadi 2,3 juta. Kira-kira perusahaan mensubsidi 2,3 milyar untuk seribu produk ponsel tersebut (meskipun rasanya enggaklah, mereka tidak membeli 4,6 juta ke pabrik, pabriknya juga tidak memproduksi dengan ongkos 4,6 juta, dan menurut berita, mereka menjual ponsel merek tersebut sebanyak empat juta batang pertahun di Indonesia saja! Ponsel juga hanya kail, ikannya yang kira-kira lebih besar akan didapat dari uang yang nanti dibayar bulanan untuk langganan.) Akan tetapi, ternyata dampaknya sangat besar, sensasional. Kerumunan orang, antrian berjam-jam (kabarnya antrian mulai jam 13.00 dan loket akan dibuka pukull 06.00 keesokan harinya), kericuhan (dengan 90 orang sakit), dan: liputan media yang sangat besar. Bukan liputan tentang produknya, tetapi tentang kericuhannya yang sampai mengundang pihak kepolisian untuk turun tangan.
(Jadi ingat pemasaran dengan mengirim peti mati, juga di Jakarta, sekitar pertengahan tahun 2011 ini. Sensasi. Juga disebut di televisi bahwa kerumunan untuk peluncuran semacam itu kadang dibayar, seperti yang pernah terjadi di Jakarta, untuk menunjukkan seakan-akan ada minat yang besar.)
Setidaknya, saya menjadi tahu bahwa terdapat ponsel merek terkenal tersebut mengeluarkan seri baru, beberapa fasilitasnya, beserta harga pasarnya.
Di sisi lain, hebat juga masyarakat mau ngantri (entah, sebenarnya ngantri atau nunggu), biasanya paling males dan main selonong aje. Kira-kira kita ini orang atau masyarakat seperti apa ya, yang rela antri berjam-jam (diberitakan sampai 20 jam!) untuk mendapatkan ponsel tersebut? Karena kebutuhan, atau karena terbius sesuatu? Histeria, hipnoteria, atau teria-teria yang lain (kalau ada)? Mungkin saya perlu nguping orang-orang ilmu sosial, antropologi, atau psikologi dalam hal ini.
*
Ada antrian lain yang tidak kalah memilukan: antrian sembako (apa saja ya sembilan bako itu?). Peristiwa antrian sembako, misalnya dalam pembagian zakat yang sampai membawa korban jiwa beberapa tahun yang lalu, kira2 juga sama fokusnya: pada yang memberi zakat, setara dengan pengusaha dalam kasus antrian ponsel tersebut yang butuh publisitas dan uang masuk. Masyarakat yang antri hanya alat: untuk mengagungkan si penderma. Jika ingin agar masyarakat takmampu juga mendapat rejeki, bukankah banyak cara untuk melakukannya, tidak harus mengundang orang banyak antri di depan rumahnya.
Begitu juga, jika pengusaha ponsel memang hendak menjual murah, banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghindari antrian yang membawa banyak korban semacam itu.
*
Lagi mikir, jika 4 juta rupiah dikalikan 4 juta batang ponsel maka akan didapatkan 16 juta-juta rupiah! Juga lagi heran, di layar televisi terlihat para pengantri, sedang menelepon atau memotret dengan ponsel! [z]