Ambigu Museum di Gedung Warisan Budaya
[]
Banyak museum di Indonesia yang menggunakan gedung-gedung warisan budaya, baik karena bersejarah, atau bernilai penting yang lain. Bahkan, museum kadang menjadi satu (satunya?) pilihan mudah untuk pemanfaatan kembali suatu gedung warisan budaya. Kadang hasilnya museum dan gedung tidak nyambung, sekedar menumpang, atau mungkin malah ‘sangat maju’ sehingga nilai budaya dan sejarah gedung menjadi tidak terlihat.
Museum Bibel, Amsterdam
Museum yang terletak di tepi salah satu kanal di Centrum, pusat kota Amsterdam lama ini menempati sepasang bangunan khas tepian kanal, dengan fasad sempit dan bergevel di bagian atas. Bangunan ini dahulu merupakan bangunan rumah tinggal keluarga Cromhout yang merupakan seorang saudagar kayu yang kaya raya. Bangunan dari abad ke-17, masa Golden Age Amsterdam, ini cukup penting di karena di dalamnya telah direkonstruksi dapur khas bangunan tepi kanal pada masa itu. Di samping itu, terdapat dua ruang yang memiliki lukisan pada plafon karya pelukis terkenal Jacob de Wit yang juga telah direstorasi.
Museum didirikan pada abad ke-19 di Utrecht, sekitar dua puluh menit berkereta dari Amsterdam. Pada tahun 1925 museum pindah ke Amsterdam dan pada tahun 1975 menempati bangunan di tepi salah satu kanal, Herengracht, sekarang ini.
Pameran
Karena bangunan-bangunan di Amsterdam umumnya kecil dan begitu juga dengan ruangnya, maka pameran tetap museum dilakukan di beberapa ruang. Pameran tersebut antara lain adalah koleksi Bibel di negeri Belanda, sejak pertama diterjemahkan hingga yang kontemporer dengan tambahan beberapa replika tentang perkembangan kitab suci ini dan sistem tulisan sebelumnya. Di ruang lain terdapat interpretasi dari Bibel, seperti contoh-contoh aroma yang disebutkan. Di taman yang berdekatan terdapat tanaman-tanaman Timur Tengah yang juga disebut di kitab suci. Taman ini sendiri ditata untuk menceritakan perjalanan Nabi Musa menyeberangi lautan dari Mesir. Satu ruang kecil digunakan untuk pameran tentang Nabi Ibrahim pada tiga agama, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Pameran lain adalah tentang kolektor yang merupakan seorang rohaniwan pada abad ke-19 dahulu, maket-maket tempat-tempat suci di Timur Tengah, dan satu ruang berisi temuan arkeologis dari Mesir, termasuk mumi dan petinya!
Dua Museum?
Ambigu ini terlihat pada poster di bagian depan gedung, yang menyambut pengunjung. “Welkom in Cromhouthuizen: Bijbel, Religie, Kunst en Cultuur” (“Selamat Datang di Rumah Cromhout: Bibel, Religi, Seni, dan Budaya”). Pameran juga tidak terlihat berkaitan dengan bangunan, misalnya bagaimana ‘religiusitas’ penghuni rumah pada zaman dulu di Amsterdam.
Pameran diselenggarakan pada ruang-ruang yang terpisah dari ruang-ruang penting bangunan bersejarah ini, seperti dapur-dapur, juga ruang-ruang dengan lukisan cantik di plafonnya. Mungkin hal ini dimaksudkan untuk menghindari kerancuan, antara sejarah arsitektur dan sejarah Bibel, meskipun hasilnya seperti dua museum yang dijadikan satu. [z]