Bahasa Gaul
Setiap kelompok masyarakat, atau kelompok dalam masyarakat, memiliki bahasa sendiri. Kita kenal bahasa-bahasa etnis, bahasa nasional, bahasa internasional, lingua franca, atau bahasa ciptaan baru macam esperanto yang juga menjadi bahasa resmi PBB.
Kita juga mengetahui bahwa kelompok-kelompok dalam masyarakat memiliki ‘bahasa’ sendiri, yang hanya dipahami oleh kalangannya. Istilah teknisnya adalah bahasa slang. Misalnya, para waria memiliki istilah-istilah sendiri untuk menyebut beberapa hal yang akrab dengan mereka. Di Jakarta dahulu juga berkembang bahasa prokem.
Para kriminal di biskota punya istilah sendiri seperti ‘balung dhewe‘, ‘tulang sendiri’, yang kira-kira berarti ‘kelompok mereka’. Menyebutkan kata sakti itu berarti amanlah ia dari pencopet. Sementara itu, kalangan polisi dan militer juga membuat sandi-sandi untuk berkomunikasi di antara mereka.
Sekarang bahasa alay ngetop di jejaring sosial di internet. Anak muda juga pelakunya.
Di kalangan anak muda Yogya, pernah populer bahasa walikan, yang masih ‘tersisa’ dalam merk kaos ‘Dagadu’, walikan dari ‘matamu‘. Selain kata tersebut terdapat jape methe, pisu, sahan, hongib, poya hoho, mothiq, dab, pabu sacilat, dan sebagainya. Arek Malang dengan mudah membalik susunan huruf menciptakan kata-kata yang khas: Kera Ngalam.
Awal tahun 2000-an, ketika ponsel mulai populer, digunakan bahasa aneh yang membuat pusing penerima sms. Sekarang bahasa alay ngetop di jejaring sosial di internet. Anak muda juga pelakunya.
Bahasa gaul, kata mereka.
Tetapi, bahasa gaul mungkin bukan prerogratif, hak istimewa, anak muda. Orang-orang mapan pun, seperti para pengusaha kelas kakap di Jakarta, anggota DPR, pengurus partai, (diduga) memiliki ‘bahasa’ khusus di antara mereka, seperti ‘apel washington’, ‘apel malang’, ‘artis’, ‘bali’. Zaman cicak bermusuhan dengan buaya dulu, sekitar awal 2010, pernah ada istilah ‘trunojoyo 1’ …. Gaul, nih!
Dayi, dab![z]