Kuliner Indonesia di Belanda: Allerhande
\
Albert Heijn barangkali adalah jaringan toko swalayan terbesar di Belanda. Tahun ini, toko dengan logo berwarna biru ini berusia 125 tahun. Toko ini rasanya berada di seluruh penjuru negeri, dari yang kecil di stasiun hingga yang besar di winkelcentrum.
Salah satu upaya promosi dari toko ini adalah dengan membuat terbitan setiap bulan, yang bernama Allerhande. Sebagai sarana advertensi toko swalayan yang menjual ‘sembako’, terbitan tersebut berisi resep-resep masakan yang sudah barang tentu bahannya dapat dibeli langsung di toko ini. Pada terbitan nomor dua tahun 2012 ini, bulan Maret, tema yang diangkat adalah rijst & noodels, alias nasi dan mi.
Berkaitan dengan nasi dan mi, tentu masyarakat Belanda tidak dapat melupakan Indonesia, negeri yang pernah selama berabad-abad berbagi sejarah bersama. Pada Allerhande 2/2012 ini terdapat beberapa makanan yang berasal dari (atau terpengaruh oleh) Indonesia. Tidak terlalu mudah untuk mengidentifikasi makanan-makanan tersebut meskipun terdapat makanan yang telah terlihat dari namanya, yaitu nasi goreng, makanan yang sangat populer.
Sebagian lain terkelompok di bawah judul ‘selamat makan’ yang berisi beberapa resep indishe rijstaffel. Resep makanan ini terdiri atas atjar tjampoer, vispakketjes (ikan bungkus, mungkin terinspirasi dari pepes ikan), kip (ayam) ketjap, nasi kuning, gehaktomelet (omelet potong?), rundvlees in kokossaus (daging sapi santan), ei in pittige saus (telur saus …?), dan sambal boontjes. Sementara itu, di bawah judul Indisch terdapat makanan sate babi met satesaus, dan di bawah rubrik thuiskoks subjudul indonesisch terdapat makanan loempia.
Selain nama sajian makanan, di berbagai halaman terbitan ini juga bertaburan beberapa istilah khas indonesia, seperti nasi, sambal, dan ketjap.
Mungkin kening agak berkerut membaca nama-nama makanan tersebut. Beberapa menggunakan ejaan lama (atjar tjampoer, ketjap, loempia) karena memang makanan-makanan tersebut datang ketika Indonesia masih menggunakan ejaan tersebut, mungkin pada masa kolonial atau setidaknya pada waktu kepulangan warga Belanda dan keturunannya setelah kemerdekaan. Nama makanan tersebut juga tidak di-update, karena telah menjadi khasanah kuliner Belanda.
Beberapa makanan menggunakan nama Belanda, seperti vispakketjes. Mungkin dibandingkan dengan atjar tjampoer, makanan ini ‘lebih Belanda’ daripada Indonesia. Juga omelet, yang kira-kira mirip dengan telur dadar namun lebih kaya isi (jadi ingat telur dadar di Bonbin FIB UGM, juga di beberapa warung makan di kampung-kampung di seputar kampus, yang ‘di-subal‘ habis-habisan dengan irisan kol alias kubis.
Sate babi dan loempia? Iyalah, barangkali dulu dua kuliner yang barangkali sekarang lebih dianggap sebagai kuliner Tionghoa (eh, sate babi juga biasa di beberapa tempat di Indonesia, dan lumpia dianggap camilan turistik khas Semarang) ini menjadi santapan kegemaran masyarakat Belanda dan Indo di Indonesia.
Saya belum tahu apakah resep yang dicantumkan di terbitan tersebut adalah resep ‘aseli warisan leluhur kita’, baik dari segi bahan maupun tata cara penyiapan dan penyajiannya. Besar kemungkinan resep-resep tersebut telah dimodifikasi, menjadi resep Indische, yang ‘Belanda bukan, Indonesia juga bukan”. Masakan harus sesuai dengan lidah mereka, dengan bahan yang ada, serta dengan kebiasaan makan mereka.
*
Mengutip perkataan seorang Belanda kerabat kami: “Selamat makan!” [z]