Relativisme Nama
\
Apalah artinya sebuah nama, tulis pujangga kenamaan Shakespeare dalam naskah drama kondang “Romeo & Juliet”. Bunga mawar diberi nama apapun tetap harum.
Juliet :
“What’s in a name? That which we call a rose
By any other name would smell as sweet.”
Mungkin bagi kita nama tidak seperti yang dibayangkan Shakespeare (penasaran juga dengan nama anak-anak Shakespeare: Susanna serta si kembar Hamnet dan Judith). Dalam kebudayaan kita, nama dapat menjadi pengingat kelahiran, doa dan harapan, meskipun sekarang berkembang menjadi estetika: yang enak didengar atau lagi tren.
Maka, beberapa tahun yang lalu (entah apa sekarang masih), jika kita membuka majalah anak-anak, dalam halaman yang memuat foto-foto bayi dan balita selalu kita temui nama-nama ngetren seperti Salsabilla, Nabilla, Dzakia, Alika, Alia … (mengapa ‘guru swara‘-nya selalu a-i-a?) Dalam satu halaman saja dapat kita temui beberapa nama yang sama, yang menyiratkan betapa populer nama tersebut. Belum lagi jika menghitung nama yang berakhiran dengan huruf ‘a’ bahkan pada semua kata.
Barangkali juga memberi makna pada nama menjadi khas orang Timur, mulai dari yang Jauh hingga yang Dekat. Teman-teman Eropa saya selalu penasaran dengan nama saya: apa artinya … Rasanya nama mereka lebih bersifat estetis, identitas, dan teknis, dan nama orang Timur mengandung simbol-simbol lebih dari sekadar identitas.
Dalam hal teknis ini, saya sering kerepotan dengan nama saya yang hanya satu kata (sebenarnya ‘gabungan’ kata). Formulir-formulir di Belanda selalu menanyakan surname/family name dan first name. Jika orang Belanda mengisikan formulir untuk saya, mereka kreatif, dengan memberi ‘s’ pada first name, atau mengulang nama saya menjadi dua kali.
Teman-teman saya selalu terheran-heran mendengar bahwa di Indonesia umum memberikan nama tanpa nama keluarga. “How does it work?” tanya salah satu teman. Wah, mereka akan lebih heran lagi, jika mendengar nama teman kuliah saya hanya ‘Eni’ atau mahasiswa saya hanya ‘Depi’ atau bahkan ‘Bram’ tanpa kelanjutan apapun.
Jika kita memiliki dua atau lebih kata dalam nama kita, maka yang belakang akan diisikan pada kolom family name, meskipun itu bukan nama keluarga sama sekali seperti kebiasaan tradisi kita. Oleh karena itu, nama barangkali termasuk sebagian dari relativisme kebudayaan atau relativisme sistem.
Nama yang terdiri atas satu kata tidak bermasalah di Indonesia, mestinya juga diakomodasi oleh sistem bangsa lain dalam konteks hubungan antarbangsa. Kelihatannya, untuk imigrasi tidak bermasalah, setidaknya di beberapa negara yang pernah saya jumpai. Akan tetapi begitu berurusan dengan lembaga tertentu seperti bank, sekolah, dan berbagai lembaga komersial, kadang masih tetap harus menyesuaikan.
Ketika membeli tiket pesawat online di Belanda, sistem di suatu agen menanyakan surname dan first name, sementara agen yang lain tidak, padahal pada sistem di kedua agen tersebut sama-sama dinyatakan bahwa nama harus sesuai dengan yang tertera pada paspor.
*
Okelah, nama anak saya terdiri atas empat kata dan terdiri atas 24 huruf belum termasuk tiga spasi. Semoga sistem (ktp, formulir UM nanti … ) juga mengakomodasi hal tersebut.
Tambahan
Dari hasil nonton “Mata Najwa” di Metro TV malam ini, (16 Januari 2013), ternyata di kalangan DPRD Kota Surabaya pada tahun 2011 terdapat gagasan untuk mengatur nama anak … Mereka menghendaki agar anak yang lahir di Surabaya memiliki kekhasan dalam namanya, berdasar kecamatan atau … dapil alias daerah pemilihan, sistem rayonisasi dalam pemilihan umum!!1 [z]
Catatan Kaki
- Perihal rencana ini, dapat dibaca di: http://www.hidayatullah.com/read/19635/03/11/2011/perda-aneh dan http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=13bb8392bb299f5966dec89f1b5ba677&jenis=c81e728d9d4c2f636f067f89cc14862c [↩]