Lima Puluh Tahun Arkeologi UGM
[]
Tak terasa, Jurusan Arkeologi FIB UGM telah berusia setengah abad, dan saya menyaksikan separuh perjalanannya. Dua puluh lima tahun yang lalu, saya datang sebagai seorang mahasiswa baru, yang tidak tahu benar apa itu arkeologi, apalagi apa Jurusan Arkeologi itu. Dulu bahkan saya bergurau dengan Sony, teman satu yang bertemu ketika antre mendaftar ulang, di loket Grafika sana,1 bahwa jika nanti ternyata gedungnya jelek, kita batal saja jadi mahasiswa arkeologi.
Lima puluh tahun, banyak hal yang terjadi di dalam kurun waktu yang tidak singkat itu, kurun waktu yang bahkan menurut aturan dapat membuat sebuah benda menjadi cagar budaya, yang harus dilindungi.
Asal Mula
Konon, Jurusan Arkeologi dahulu berdiri pada tanggal 15 September 1962. Tanggal itu mungkin diambil dari tanggal SK Rektor2, sesuai kebiasaan hari lahir suatu lembaga. Pada waktu itu, lembaga ini bernama Jurusan Ilmu Purbakala3, yang merupakan ‘pecahan’ dari Jurusan Sejarah, di Fakultit Sastera, Pedagogik, dan Filsafat.4
Mahasiswa awal waktu itu, kira-kira adalah Bu Sum (Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro), Pak Ribut (Dr. Ribut Darmosutopo), dan Pak Karto (Drs. M.M. Sukarto Kartoatmojo yang konon nomor mahasiswa beliau adalah 1). Di buku Swakulagotra, yang berisi data para alumni, disebutkan satu golongan: Pra-62.
Pada waktu itu, perkuliahan masih dilakukan di Dalem Wijilan, di sebelah timur alun-alun kraton, yang sekarang menjadi Dalem Yudoningratan. Kemudian pindah ke Karangmalang, di salah satu bangunan yang ditempati oleh UNY sekarang. Baru tahun 1970-an kampus pindah ke Bulaksumur.5
Para Guru
Dosen (daripada) Dosen
Guru tersepuh yang masih mengajar saya adalah Pak Ribut, setidaknya jika dilihat dari pensiun normalnya, yang paling awal. Setelah itu ada Bu Sum, Pak Timbul (Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc.), dan Bu Poppy (Prof. Dr. Inajati Adrisijanti).
Sebelum itu, pastilah ada guru-guru yang mengajar para beliau. Seingat saya para senior sering menyebut Pak Buchari (Drs. Buchari), yang sangat mengesankan karena ujian lisan dari ahli epigrafi ini teramat sulit. Dosen-dosen lain juga banyak yang datang dari Jakarta seperti Pak Buchari sendiri. Selain itu, mungkin ada Pak Pomo yang juga pernah menjadi ketua jurusan.6
The Big Five dan berikutnya
Pada zaman saya kuliah, terdapat lima dosen senior, yang kadang kami gelari the big five: Bu Sum, Bu Poppy, Pak Timbul, Pak Ribut, dan Pak Broto (Drs. Ph. Subroto, M.Sc.). Para beliau sekarang sudah resmi pensiun tetapi masih rajin mengajar, kecuali Pak Broto yang meninggal beberapa tahun yang lalu. Pak Ribut disuwun rawuh kembali untuk mengajar di bidang epigrafi yang sekarang lagi ditinggal kesana kemari oleh para juniornya (hihihi), sementara ketiga gurubesar, yaitu Prof. Timbul, Prof. Sumijati, dan Prof. Inajati, diperpanjang kembali.7
Di bawah itu, ada Pak Pin (Drs. Slamet Pinardi, M.Hum.),8 Mas Djoko (Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum.), Mas Daud (Dr. Daud Aris Tanudirjo, M.A.), Mbak Wiwik (Dr. Widya Nayati, M.A.), serta Mas Kusen (Drs. Kusen) almarhum. Mbak Niken (Dra. Niken Wirasanti, M.Si.) dan Mas Tjahjono (Drs. Tjahjono Prasodjo, M.A.) baru menjadi dosen beberapa saat sebelum saya masuk. Setelah itu, ada angkatan yang saya masih menyaksikan ‘bentuk’ mereka ketika mahasiswa: Mbak Nia (Dra. D.S. Nugrahani), Mas Sus (Drs. J. Susetyo Edy Yuwono), Mbak Ita (Dr. Mahirta, M.A.), Mbak Anggra (Dr. Anggraeni, M.A.), Mas Musadad (Drs. Musadad, M.Hum.), Mas Tular (Drs. Tular Sudarmadi, M.A.), Mbak Mimi (Mimi Savitri, S.S., M.A.), dan Fahmi (Fahmi Prihantoro, S.S., S.H., M.A.) teman seangkatan saya. Kemudian, ada angkatan di bawah saya, seperti Andi (Andi Putranto, S.S.) dan Wavin (Dwi Pradnyawan, S.S.), yang kira2 masuk dosen bareng dengan saya. Di bawahnya terdapat trio Agus-Jajang-Jujun (Agus Tri Hascaryo, S.T., S.S., M.Si.; Jajang Agus Sonjaya, S.S., M.Hum.; Jujun Kurniawan, S.S.).
Dulu pernah ada asisten dosen, Mas Amir Panzuri (Arkeologi Islam) dan Mas Wahyu Saptomo (Arkeologi Prasejarah). Mereka kemudian berkarir di tempat lain. Mas Amir berkarir di LSM dan Mas Wahyu sekarang di Jakarta setelah dahulu sempat menjadi kepala museum di Dili.
Dosen luar
Banyak ilmu lain yang dipinjam untuk memperkaya ilmu arkeologi, juga perlunya link-and-match dengan dunia kerja. Hal ini juga tercermin dari banyaknya pengajar dari jurusan lain, fakultas lain, bahkan dari lembaga lain. Dahulu dosen dari luar ini cukup banyak. Beberapa tahun terakhir, berkait dengan semakin banyaknya staf dan perubahan kurikulum, dosen luar menjadi agak berkurang.
Pada masa saya, ada Pak Parmono (Prof. Dr. Ir. Parmono Atmadi) yang mengajar Arsitektur Indonesia, yang kemudian diganti oleh Pak Ismudiyanto (Ir. Ismudiyanto, M.S.). Dari ilmu kebumian ada Pak Mulyadi (Ir. Mulyadi) almarhum, Pak Toto (Ir. Sutoto, S.U.) (keduanya dari Teknik Geologi), ada Pak Tikno (Prof. Dr. Sutikno), Pak Jomulyo, dan pernah juga Pak Drs. Yusron Halim (dari Geografi) yang kemudian diganti oleh Mas Eko (Dr. Eko Haryono, M.Si.) dan kelihatannya sempat juga oleh Mas Junun Saptohadi. Pak Yutono (Prof. Dr. Ir. Yutono) dari Pertanian, mengajar tentang konservasi karena beliau meneliti tentang jamur di Candi Borobudur. Pak Jacob (Prof. Dr. T. Jacob, M.S., M.D.) almarhum, Pak Agus (dr. Agus Supriyo) almarhum, dan Pak Budi Sampurno (dr. Budi Sampurno), mengajar sekitar Paleoantropologi dan Antropologi Ragawi, yang kemudian diajar oleh Bu Etty (Prof. Dr. drg. Etty Indriati), Mas Rusyad (Rusyad Adi Suriyanto, Lab Paleoantro UGM), dan Pak Harry (Dr. Harry Widianto) (Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran).
Dari lembaga arkeologi pernah mengajar Pak Anom (Dr. I Gusti Ngurah Anom) yang kemudian diganti Pak Narto (Drs. Th. Aq. Sunarto), kepala SPSP DIY, untuk mata kuliah Prinsip-prinsip Pemugaran. Ada juga Mbak Vida (Dra. Novida Abbas, M.A.) dari Balai Arkeologi Yogya, pernah juga Pak Gun (Drs. Gunadi Nitihaminoto), dan Pak Karto (Drs. M.M. Sukarto Kartoatmojo), juga almarhum Mas Bugie (Drs. Bugie Kusumohartono) yang mengajar Arkeologi Lingkungan. Dari SPSP atau BP3 juga ada Mbak Azza (Dra. Zaimul Azza, M.Hum.) yang juga pernah mengajar di jurusan.
Banyak juga dosen dari jurusan di lingkungan FIB yang mengajar di Arkeologi. Beberapa mata kuliah merupakan domain dari jurusan lain, sehingga lebih tepat jika merekalah yang mengajarkan. Mata kuliah ini mungkin mata kuliah milik jurusan arkeologi atau mata kuliah dari jurusan lain yang dianggap cocok. Dulu ada Bu Baroroh (Prof. Baroroh-Baried) dan Bu Chamamah (Prof. Dr. Siti Chamamah-Soeratno) yang mengajar Filologi, Mas Manu (Drs. Manu) atau Mas Anung (Drs. Anung Tejowirawan) yang mengajar Jawa Kuna.
Selain itu, Jurusan juga pernah mendapatkan dosen yang benar-benar luar, yaitu Pak Miksic dan Bu Ingrid. Pak Prof. Dr. John N. Miksic datang dengan Ford Foundation hingga tahun 1987, dan benar-benar membuat jurusan berkembang. Beberapa matakuliah ditambahkan waktu itu, seperti etnoarkeologi dan museologi. Sementara itu, Bu Ingrid Schroyen datang lebih akhir, saya sempat merasakan kuliah Pusat-Pusat Peradaban Kuno yang ia ajarkan.
D3 Kepariwisataan
Jika Jurusan Arkeologi mendapatkan bantuan dari dosen jurusan/fakultas lain, bahkan dari luar, maka para dosen Jurusan juga membantu mengajar bagi jurusan lain. Misalnya adalah di Program Diploma III Kepariwisataan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Program Diploma III Kepariwisataan FIB UGM cukup dekat dengan Jurusan Arkeologi. Ketika dahulu fakultas membuka program-program diploma, beberapa staf Jurusan Arkeologi ikut menyiapkan prodi kepariwisataan, antara lain adalah Pak Djoko Dwiyanto.
Setelah Prodi D3 Kepariwisataan berdiri, biasanya salah satu pengurus berasal dari Jurusan Arkeologi. Pada awal, Pak Slamet Pinardi menjabat ketua prodi yang dilanjutkan oleh Mas Musadad. Periode berikutnya, Mimi Savitri menjabat sekretaris prodi hingga tahun 2008, dilanjutkan oleh Sektiadi dan disusul oleh Fahmi Prihantoro yang di tahun 2011. Yang terakhir ini naik menjadi ketua prodi setelah prodi tersebut berpisah dari FIB dan menyatu dengan Sekolah Vokasi UGM. Di samping itu, ia juga masih harus mengurus S1 Pariwisata yang didirikan di FIB, sebagai sekretaris jurusan.
Selain menjadi pengurus, para dosen tersebut, ditambah beberapa yang lain, juga terlibat dalam kegiatan belajar mengajar termasuk pembimbingan akademik dan tugas akhir.
Keluarga dosen
Hubungan antardosen cukup dekat, selain karena semua berasal dari satu almamater, kadang satu angkatan, juga karena secara alami hubungan civitas arkeologi memang dekat. Para dosen juga mengadakan pertemuan keluarga secara rutin bergilir di masing-masing rumah dosen. Dengan demikian, hubungan secara kekeluargaan menjadi dekat, meskipun belum ada yang besanan 😀 .9
Sejak beberapa tahun yang lalu, setiap jurusan di FIB mendapat seorang pegawai yang mengurus administrasi. Arkeologi mendapatkan Dyan Harko, yang dulu kuliah di Sastra Nusantara.
Fasilitas
Sebelum masa saya kuliah di akhir ’80-an, kelihatannya masing-masing jurusan mendapatkan ruang tetap untuk kuliah mahasiswanya. Arkeologi mendapatkan lantai dua di sayap selatan, yang sering disebut dengan ‘akuarium’ karena dinding samping terbuat dari kaca. Setelah itu, semua ruang kuliah dikelola oleh fakultas sehingga digunakan secara bergantian oleh setiap jurusan.
Tahun 1987, jurusan mendapat bantuan gedung laboratorium dari Ford Foundation, melalui Pak Miksic. Akan tetapi, karena keterbatasan peralatan yang dimiliki untuk mengisi lab tersebut, ruang-ruang lab menjadi ruang dosen, yang tidak cukup tertampung di kantor jurusan. Perpustakaan yang ada di gedung ini cukup baik, meskipun pada masa awal banyak buku foto kopi.10
Gedung laboratorium ini, menurut Mas Djoko yang merancang bersama Mas Kusen, sudah didesain untuk dua lantai. Oleh karena itu, ketika beberapa tahun, pada masa Pak Syamsul sebagai dekan, Pak Hasyim Djojohadikusumo hendak memberi bantuan, jurusan mengusulkan untuk membangunkan lantai kedua. Tetapi, setelah Pak Hasyim meninjau gedung yang mungil dan penuh sesak dengan barang itu, maka dibangunlah gedung empat lantai, dan lab arkeologi menempati separuh lantai bawah, termasuk beberapa ruang yang terpaksa dikonversi lagi menjadi ruang dosen dan ruang pengurus jurusan.
Berbagai perlengkapanpun diusahakan dipenuhi oleh fakultas dan jurusan, meskipun cukup sulit untuk mendapatkannya. Dahulu, salah satu kesulitan adalah karena jurusan yang berada di Fakultas Sastra ini membutuhkan perlengkapan IPA seperti mikroskop. Sekarang, berbagai peralatan seperti lemari asam sudah disediakan. Untuk praktik dan keperluan lain, jurusan juga memiliki perlengkapan selam dalam jumlah dan kualitas yang mencukupi.
Untuk berkomunikasi, disediakan website www.arkeologi.ugm.ac.id dan www.facebook.com/arkeologi untuk fan-page.
Pada pertengahan dasa warsa pertama tahun 2000-an, Jurusan Arkeologi mendapatkan hibah SP4 selama dua periode untuk pengembangan. Alhasil, beberapa perbaikan fisik dilakukan, pengembangan manajemen, pelatihan dosen, penerbitan, pembuatan website, juga penelitian.
Kurikulum dan pengajaran
Kurikulum selalu berganti sesuai dengan ‘petunjuk’ UGM. Zaman saya dulu, masih ‘konvensional’ dengan pembagian empat lab (Prasejarah, Klasik, Islam, Epigrafi). Kemudian, kurikulum berubah menjadi lebih menitikberatkan pada pengembangan teori. Pembagian masa juga dihilangkan. Hasilnya, kelihatannya sekarang mahasiswa dituntut untuk lebih befokus kepada belajar ….
Sekitar awal tahun 2000-an, jurusan membuka Program Pascasarjana (S2) Arkeologi, dengan konsentrasi pada Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi. Sekitar tahun 2008 program ini dikembangkan dengan membuka konsentrasi lain, yaitu Museologi, dengan beberapa pengajar dari Belanda sebagai hasil kerjasama dengan Tropenmuseum. Bersamaan dengan itu, di jenjang S1 juga disediakan minat khusus museologi ini.
Penelitian
Penelitian dilakukan baik oleh dosen secara individual, berkelompok, atau kelompok besar yang mengikutkan seluruh staf jurusan. Meskipun belum tercatat lengkap, penelitian sebagai kegiatan staf dapat dilihat di website Jurusan Arkeologi atau pada biodata staf pengajar UGM
Kegiatan penelitian juga dilakukan secara simultan dengan kegiatan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat sehingga mencakup tiga dharma. Akhir tahun 1990-an Jurusan memenangkan hibah Semi-QUE, dan dengan dana tersebut dilakukan kegiatan penelitian potensi arkeologis Kawasan Kabupaten Pacitan. Dengan menyertakan mahasiswa dalam kaitan dengan peningkatan kemampuan mereka, kegiatan ini juga diakhiri dengan perumusan pengembangan wisata kawasan sebagai bagian dari upaya pelestarian warisan arkeologi dan budaya pada umumnya. Di akhir kegiatan dilakukan diskusi dan diseminasi hasil penelitian di kalangan Pemda Pacitan.
Setelah kegiatan di Pacitan, Jurusan membuat Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis (PTKA) Gunungkidul, yang berjalan beberapa tahun. Kegiatan penelitian melibatkan pula kegiatan pendidikan (karena merupakan sarana pelatihan juga bagi mahasiswa) dan pengabdian, yang mencoba memberikan hasil penelitian kepada masyarakat. Implementasinya, penelitian tahun berikut memamerkan hasil penelitian tahun sebelumnya untuk masyarakat di lokasi kegiatan. Kegiatan ini dilakukan antara lain di Kecamatan Karangmojo (Situs kubur megalitik Bejiharjo), di Kecamatan Ponjong, serta di Kecamatan Playen (Gua Rancang dan beberapa situs lain).
Mahasiswa dan Alumni
Tentu sudah banyak alumni yang dihasilkan, mungkin 1000-an orang, yang oleh jurusan dihimpun dalam wadah Swakulagotra. Banyak alumni yang berprestasi, meskipun tidak kurang sedikit yang sulit terlacak.
Mahasiswa memiliki organisasi yang bernama Himpunan Mahasiswa Arkeologi (Hima), dengan logo berupa kepala kala. Entah siapa yang mencipta, mungkin Mas Gendon. Cukup banyak kegiatan Hima, dulu. Selain kegiatan keorganisasian, juga sempat menyelenggarakan seminar mahasiswa, sempat juga diskusi rutin. Penerbitan, buletin Artefak, sempat mengisi rak perpustakaan Cornell University untuk beberapa terbitan. Pernah juga memiliki majalah dinding, yang dipasang di lantai dua gedung sayap selatan. Lupa, mungkin namanya “Antefik”. Tiap dua tahun, Hima menyelenggarakan Kemah Kerja dan Studi Arkeologi (KKSA), yang juga mengundang kehadiran dari tiga (atau empat) jurusan Arkeologi dari universitas lain. Hima juga menggilir kegiatan Piami, Pertemuan Ilmiah Arkeologi Mahasiswa Indonesia, yang diselenggarakan bergantian dengan jurusan arkeologi dari universitas lain.
Akhir-akhir ini, kegiatan mahasiswa kelihatannya cenderung ilmiah, dengan didirikan ‘anak organisasi’ di bawah Hima. Nama lembaga itu adalah “Kapak” (serem amat namanya … ). Mahasiswa pernah menyelenggarakan penelusuran kepurbakalaan di beberapa kawasan, juga pelatihan selam.
Akhirnya
Tulisan ini belum (tepatnya: tidak pernah) lengkap dan 100% akurat. Saya simpan dulu dan nanti dikembangkan jika ada waktu dan data baru. Selamat, semoga sukses mendidik calon peneliti dan pengelola cagar budaya, sarjana yang sujana.
Catatan Kaki
- Akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-an, nama ‘Grafika’ ini cukup populer karena setiap semester harus antre daftar ulang… [↩]
- harus dicek lagi nih [↩]
- kapan ya berubah menjadi “arkeologi” [↩]
- Perlu dilacak kembali, bagaimana terbentuknya: siapa yang menggagas, mengapa di UGM, dst. [↩]
- Oleh karena itu, salah satu acara dies natalis Fakultas Sastra UGM beberapa belas tahun yang lalu adalah Sastro Wikabul, yang berarti Wijilan-Karangmalang-Bulaksumur. Apakah dulu ilmu purbakala juga ikut pindah ke Karangmalang? Nanti saya tanyakan juga. [↩]
- Menarik juga untuk melihat, apa saja matakuliah dan siapa dosen pada waktu itu. [↩]
- Dosen yang telah pensiun sebelum saya masuk dan saya tidak bertemu hingga akhir hayat beliau, adalah Pak Sudiman. [↩]
- Update: beliau pensiun mulai April 2013. [↩]
- Dari 25-an dosen, terdapat 9 orang yang memiliki istri atau suami sesama arkeologi … Itu juga mungkin yang membuat dekat. [↩]
- Sekarang, sudah penuh berjejal dengan buku hingga langit-langit, bahkan sudah melebar ke ruang lain. [↩]