Akronim
|
Kita rasanya tidak buruk-buruk amat dalam berbahasa. Ada kreativitas juga, salah satunya adalah penciptaan akronim. Entah apa yang menyebabkan kita melakukan kegiatan ekonomis berbahasa.
Contoh akronim populer adalah balon (bakal calon), pemilu (pemilihan umum), pilpres (pemilihan presiden), pilkada (pemilihan kepala daerah), dan cabup (calon bupati). Para balon itu juga membuat akronim, baik nama diri sendiri atau kesatuan cagub-cawagub/cabup-cawabup). Dulu Pak Joko Widodo menggunakan nama Jokowi yang masih melekat hingga sekarang. Sementara, akronim nama pasangan antara lain adalah Hati (Hj Tantri Hasan Aminuddin-Timbul Prihanjoko di Kab. Probolinggo, 2012).
Saking kreatifnya, kita juga mencipta akronim dari kata-kata serapan. Misalnya adalah infotainmen, dari informasi + entertainmen dan edutainmen (edukasi + entertainmen). Sinetron yang populer di televisi sekarang berasal dari kata sinema dan elektronik. Rasanya, akronim yang saya daftar itu termasuk berhasil karena kita gunakan dengan intensif. Kata-kata tersebut sangat sering muncul dalam berita cetak maupun elektronik.
Akronim bripda dan briptu juga mendadak sering disebut, bersamaan dengan munculnya polisi-polisi cantik (akronimnya polwan bukan polcan) di layar televisi. Meskipun saban hari mendengar, tetapi saya tetap kurang paham: seperti apa atau seberapa tinggi pangkat bripda dan briptu itu.
Anak muda juga mampu membuat akronim sendiri. Para bloger sering mengadakan kopdar (kopi darat). Di era media sosial digunakan secara luas seperti sekarang, tidak jarang kita menemukan curcol (curhat [curahan hati] colongan), yang tidak sengaja bocor. Di Yogyakarta akronim juga populer di kalangan anak muda yang sering kirim-kiriman lagu di radio: Jakal (Jalan Kaliurang), Jamal (Jalan Magelang), Paris (Parangtritis).
Sementara itu, nama kereta Prameks (Prambanan Ekspres) juga licin meluncur dari bibir para pelajo Yogya-Solo. Bonbin (kebon binatang) Gembiraloka1 dan Jokteng (Pojok Beteng) sudah populer sejak dulu.
Orang Sunda berhasil dengan akronim untuk makanan terutama yang menggunakan bahan dasar ketela pohon. Ada cireng (=aci digoreng), cilok (=aci dicolok), mengikuti pendahulunya yang telah sukses seperti combro (oncom di jero), dan misro (amis di jero).
Saking popularnya akronim, sampai-sampai kita tidak sadar akan artinya. Antara lain adalah sembako. Banyak yang tahu bahwa kepanjangan ‘sembako’ adalah ‘sembilan bahan pokok’, tetapi rasanya sedikit orang yang tahu apa saja sembilan bahan pokok itu.2
*
Bung Karno dulu juga penggemar akronim rupanya. Ingat Jasmerah, yang merupakan kependekan dari ‘Jangan sekali-kali melupakan sejarah’, atau berdikari, ‘Berdiri di atas Kaki Sendiri’, Tavip, ‘Tahun-tahun Vivere Pericoloso’. Akronim tersebut digunakan untuk memberikan judul pidato-pidatonya.
Presiden kita berikutnya, Pak Harto yang berkuasa pada masa Orba (akronim dari Orde Baru), juga suka membuat akronim. Bahkan, rasanya semua akronim yang kita gunakan sekarang warisan dari zamannya.3 Ada Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), klompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa), Golkar (Golongan Karya)4 ,. Pada saat bersamaan, militer sangat intensif menggunakan akronim. Paspampres, Kopassus, Polres, Polsek,5 Koramil …
Pada waktu itu, kota dan kabupaten juga memiliki akronim sebagai slogan untuk …. untuk apa ya? Misalnya Solo Berseri (Bersih-Sehat-Rapi-Indah), Magelang Gemilang (Gemah-Ripah-Iman-Cemerlang), Yogya Berhati Nyaman (Bersih-Sehat-Tertib-Indah-Nyaman-Aman).6
Entah merupakan respon atas ‘hobi akronim’ rezim waktu itu atau tidak, para pendemo juga senang menggunakan akronim bahkan kadang terkesan ‘maksa’. Mereka menggunakan akronim untuk nama-nama kelompok. Saking kreatifnya, bahkan akronim tersebut memiliki arti sendiri, yaitu kata-kata yang berkait dengan gerakan, perubahan, pembelaan, dan sebagainya.
Masa presiden-presiden berikutnya, barangkali harpitnas, ( ‘hari kecepit nasional’ ) yang populer. Istilah ini rasanya merebak mulai zaman Presiden Megawati yang sering libur karena ada satu hari yang terjepit. Istilah resminya adalah cuti bersama.
*
Tentu sebagaimana umumnya bahasa yang merupakan hasil budaya manusia itu, tidak lantas semua akronim populer dan lestari. Beberapa akronim kelihatannya harus menyurut bahkan tersingkir dari komunikasi sehari-hari, seperti tersingkirnya burket (bubur ket*k) jika semua orang menggunakan rex*na roll.
Lusi (Lumpur Sidoarjo), kelihatannya tidak sudi menggantikan istilah ‘Lumpur Lapindo’, terbukti dari si Lusi yang tidak banyak disebut.
Wartel (warung telekomunikasi) pernah sangat produktif. Di mana-mana orang mendirikan wartel. Tetapi, begitu telepon genggam memasyarakat, mau tidak mau pengusaha wartel pada gulung tikar. Istilah wartel juga ikut digulung. Akronim ponsel (telepon selular) menggantikannya.7 Saudaranya, warnet (warung internet) bisa ikut menyusul jika pengelola tidak kreatif. Warteg (warung tegal) masih eksis di Jakarta memenuhi salah satu kebutuhan primer warga. Warkop (warung kopi)? Mulai terganti café dan segenap warung kopi bermerk luar negeri, meskipun mungkin kopinya dari kita juga.
Toserba (toko serba ada), kelihatannya juga akan surut. Bukan karena ada istilah baru, tetapi toko swalayan menggantikan toko besar yang menjual berbagai barang tersebut. Rupanya, orang lebih suka mengambil sendiri barang yang hendak dibelinya daripada dilayani.
Gama (Gadjah Mada), akronim zadul (zaman dulu) untuk Universitas Gadjah Mada yang populer mungkin sebelum ’80-an, sekarang sudah jarang yang menyebutkannya. Untuk almamater ini lebih sering digunakan singkatan UGM. Meskipun demikian, akronim Gama masih tertinggal antara lain pada Kagama (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada) dan Mapagama (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada). Istilah ‘Gama’ malah banyak digunakan oleh bimbingan tes yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan UGM.
Bekibolang (belok kiri boleh langsung), perilaku di jalan raya ini akan berkurang karena dianulir oleh Undang-Undang Lalu Lintas UU Nomor 22/2009, Pasal 112, Ayat 3, yang menyatakan bahwa “Pada persimpangan jalan yang dilengkapi Alat Pemberi Isyarat Lalu-Lintas, Pengemudi Kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh Rambu Lalu-Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu-Lintas.”
*
Akan tetapi, meskipun seperti telah disebut di atas bahwa akronim adalah hasil kreativitas berbahasa, ada akronim yang saya harap surut penggunaannya, karena tidak popular lagi sehingga tidak ada yang menggunakan. Akronim tersebut adalah narkoba (narkotika dan …. apa ya kelanjutannya? ). [z]
Catatan Kaki
- Sekarang, seperti tertempel di kaca belakang taksi-taksi, dipopulerkan nama Gembiraloka Zoo … Yang ini saya nilai kurang kreatif. [↩]
- Saya juga … [↩]
- Lebay, maksud saya rasanya akhir-akhir ini jarang muncul akronim baru selain yang digunakan dalam pemilu-pilpres-pilkada. Mungkinkah Densus (Detasemen Khusus) yang sekarang populer itu? [↩]
- Partai-partai kelihatannya sejak dulu suka berakronim. Tetapi, pada masa Orba, hanya Golkar yang berakronim [↩]
- zaman itu, polisi juga masuk ke dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang akronimnya adalah Abri. Menurut pedoman EYD, akronim yang dapat diucap seperti kata itu tidak ditulis dengan semua huruf besar. [↩]
- Semoga kepanjangannya benar. Tetangga saya membuat tulisan di depan rumahnya ‘Desa X Seadanya’ (Sehat-Aman-Damai-Nyaman) [↩]
- Pernah ada proyek ambisius yang membuat semacam one-stop shopping di bidang ini, yaitu warparpostel (warung pariwisata pos dan telekomunikasi [↩]