Kepurbakalaan Dataran Tinggi Dieng
Kawasan Dieng mewakili kebudayaan yang cukup tua di Jawa, yaitu Masa Klasik. Di dataran tinggi ini terkumpul beberapa objek yang mewakili beberapa babak di masa tersebut sebagaimana terlihat dari beragamnya gaya seni bangunan yang ada.
Barangkali yang terkenal sebagai peninggalan purbakala di kawasan Dieng memang percandian yang diberi nama menurut para ksatria dalam cerita Mahabarata.1 Akan tetapi sebenarnya terdapat berbagai peninggalan lain seperti sisa bangunan ‘asrama’, dinding batu, tangga batu, arca, prasasti, serta perangkat keairan.
1. Perangkat keairan
Kawasan pegunungan ini berhubungan erat dengan air sejak dulu,2 meskipun sekarang sangat berkurang karena penggundulan kawasan dan penggunaan air yang melebihi daya dukung. Cekungan Dieng menjadi tempat berkumpulnya air sehingga perlu dikeringkan untuk dihuni. Satu terowongan yang disebut Gangsiran Aswatama diduga merupakan saluran pengeringan ini.3
Dieng juga menjadi pangkal dari sungai penting di kawasan barat daya Jawa Tengah, yaitu Kali Serayu. Salah satu sumber air untuk kali tersebut adalah petirtaan Bima Lukar yang terletak di luar cekungan Dieng. Petirtaan ini oleh masyarakat dihubungkan dengan legenda Bima, ksatria kedua keluarga Pandawa.
2. Perangkat permukiman
Kondisi pengunungan yang berlereng tentunya menyulitkan penghunian. Oleh karena itu, beberapa bagian perlu dipotong, diratakan, ditimbun, atau diperkuat dengan talud. Hal ini kemudian menimbulkan adanya fitur-fitur struktural. Di kompleks Dieng, talud dapat ditemukan di salah satu lereng dilengkapi dengan tangga batu. Keberadaan tangga batu di talud tersebut menyisakan pertanyaan: apakah dahulu peninggalan ini merupakan akses menuju kawasan percandian Dieng, atau satu bangunan tersendiri?
Beberapa kilometer di luar kawasan Dieng juga ditemukan jalan dengan undakan batu. Fitur tersebut dikenal penduduk dengan nama ‘Andha Budha’, atau ‘Tangga Budha’.
3. Bangunan keagamaan
a. Percandian
Terdapat banyak bangunan candi di kawasan ini. Di kompleks Percandian Arjuna terdapat Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, serta Candi Sembadra. Di luar kompleks tersebut terdapat juga Candi Bima, Candi Gatotkaca, Candi Dwarawati, dan Candi Setyaki yang belum lama dipugar. Sementara itu, masih terdapat Candi Parikesit yang berada dalam kondisi reruntuhan. Museum Kailasa menyimpan banyak bagian bangunan yang ditemukan di sekitar Dieng.
b. Darmasala
Beberapa bekas bangunan ditemukan di cekungan Dieng, tidak jauh dari Kompleks Percandian Arjuna berupa batur dan batu-batu umpak. Diduga sisa bangunan merupakan bekas darmasala, yaitu semacam asrama bagi pendeta dan peziarah yang datang ke Dieng di masa lalu.
4. Prasasti dan Arca
Di samping berupa fitur dan bangunan, di kawasan Dieng juga ditemukan berbagai benda kemindah (movable), seperti prasasti dan arca. Bahkan, penelitian baru juga mendapatkan berbagai pecahan keramik yang diduga dahulu digunakan oleh para penghuni.
Arca dari kawasan Dieng cukup unik karena sebagian di antaranya tidak ditemukan di tempat lain. Arca tersebut misalnya adalah Nandisawahanamurti, yaitu arca Dewa Siwa yang duduk di atas bahu nandi yang berbadan manusia. Arca ini dapat dilihat di Museum Kailasa, Dieng, juga di Museum Radyapustaka, Surakarta.
Selempeng prasasti juga disimpan di Museum Kailasa. Sayangnya tulisan yang ditorehkan di kedua sisi telah sangat aus sehingga menyulitkan pembacaan. Mestinya banyak informasi yang dikandung pada batu setinggi lebih dari dua meter ini.
Selain peninggalan berbahan batu berupa bangunan, arca, dan prasasti sebagaimana disebut di atas, di kawasan Dataran Tinggi Dieng juga ditemukan benda-benda lain seperti pecahan keramik. Benda-benda tersebut merupakan sisa aktivitas yang berlangsung di kawasan Dieng pada masa lalu. [z]
Catatan Kaki
- Tentu, nama-nama ini adalah pemberian orang sekarang. Tidak banyak diketahui apa sebenarnya nama suatu candi di masa lalu. [↩]
- Ketika ditemukan, kompleks percandian Arjuna yang berada di cekungan tergenang air sehingga harus dikuras terlebih dahulu. [↩]
- Fitur ini disamakan dengan terowongan yang dibuat oleh Aswatama, anak Pendeta Durna dalam kisah Mahabarata. [↩]