Balada Kota Sepeda
[]
Pagi hari, seperti biasa saya mengambil sepeda di tempat parkir di kompleks tempat saya tinggal. Fasilitas ini hanya berupa tonggak berbentuk huruf ‘U’ terbalik, berjajar di samping gedung. Bukan di emper atau tempat beratap lainnya, parkiran ini berada di udara terbuka.
Tetapi, sepeda terasa agak berat ketika saya tarik dari tempat parkir. Setelah mengamati, ternyata, kedua ban sepeda, depan dan belakang, telah kempès. Bukan sekedar kempès, semua pèntil (ventil, Bld.) telah hilang dari tempatnya, menyisakan satu lubang menganga di masing-masing roda. Alhasil pagi ini saya harus naik bis untuk berangkat kerja ke Tropenmuseum dengan sedikit nggondhok telah dikerjai orang.
Kemudian, saya harus membeli dua biji pèntil bekas di sebuah toko sepeda di seputar Dappermarkt. Satu euro harus saya keluarkan untuk mendapatkan dua benda logam kecil tersebut. Saya juga harus membeli pompa ban cemangking, portabel, daripada saya harus mendorong ke toko sepeda yang ada entah di mana untuk meminjam pompa.1 Pompa sepanjang dua puluh senti itu seharga tiga euro.
*
Amsterdam memang surga bagi pengendara sepeda. Mereka dapat bersepeda kemanapun di kota ini dengan jalur tersendiri, di samping jalur tram, bus, dan mobil. Tempat parkir juga tersedia di banyak tempat di pinggir jalan. Oleh karena itu, konon terdapat satu juta sepeda di jalan-jalan di kota dengan penduduk 650.000 orang ini. Jadi, lebih banyak sepeda daripada penduduknya.2
Akan tetapi, bagi sepedanya sendiri Amsterdam bukanlah surga. Setiap tahun terdapat sekitar 30.000 sepeda yang mengakhiri hidup di kanal. Bukan karena pengendara yang terjungkal masuk kanal tetapi karena anak-anak nakal yang iseng. Mereka pikir akan lucu jika sepeda (turis) diceburkan di kanal.3
Selain mencopot pèntil sepeda saya dan menceburkan puluhan ribu sepeda lainnya ke kanal, mereka juga sering mencopot roda depan, sadel, stang, juga mencoblos ban agar kempès. Kadang sepeda juga diputar, diangkat, dibalik, ditendang …
Kriminalitas terhadap sepeda memang cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu rantai sepeda yang ‘standar industri’ (hehehe) yang bahkan mungkin dapat untuk merantai stoomwals. Rantai ini sangat kuat dan berat, juga sangat mahal. Jika kita dapat membeli sepeda bekas (kadang bahkan sepeda baru) seharga 80 euro, maka harga rantai dapat mencapai 20 atau 40 euro! Hal itu belum cukup. Agar aman, setelah roda belakang dikunci dengan kunci ‘O’ seperti biasa, roda depan perlu dirantai bersama rangka sepeda ke suatu tonggak yang tidak dapat diangkat.
Banyak pemilik sepeda yang mencat sepedanya dengan warna dan pola yang aneh, atau menempeli dengan lakban atau gambar tempel wagu yang mencolok. Hal itu dilakukan di samping agar mudah dikenali ketika berada di tempat parkir, juga agar orang males mencurinya.
*
Tidak seperti di Yogyakarta yang banyak tukang tambal ban di pinggir-pinggir jalan, di Amsterdam justru tidak mudah menemukannya. Biasanya para pemilik sepeda mempunyai sendiri perangkat untuk menambal ban yang bocor. Alat yang dengan wadah plastik atau kaleng sebesar wadah permen ini dapat dibeli di toko-toko dengan mudah dan murah, sekitar 4-7 euro, atau kadang hingga belasan euro jika kemasan lebih besar. Maka tidak jarang kita dapat melihat cewek bule membongkar ban di pinggir jalan.
*
Tetapi pèntil kan tidak dapat dikunci. Jadi saya tetap was-was. [z]
Catatan Kaki
- Lucu, di dekat Stasiun Central terdapat toko sepeda yang meminjamkan pompa dengan tulisan ‘Free Amsterdam Air’… [↩]
- Eh, ini statistik tahun berapa, ya? Saya cuma nemu di satu buletin popular. [↩]
- Wah, saya bayangkan jika di Yogya, pasti saya sudah gogoh-gogoh kanal buat cari sepeda … lumayan daripada beli. [↩]