Balada Bawang
Using local materials for food ingredients will develop specific culinary for the area and reduce import dependence.
Beberapa waktu yang lalu terjadi kelangkaan bawang di pasar. Akibatnya, harga terkatrol naik hingga dua kali lipat. Satu kilo bawang putih dapat mencapai harga 80-90 ribu. Konon ternyata tanaman bawang tidaklah cocok-cocok amat ditanam di iklim Indonesia. Tanaman bumbu ini dapat berkembang baik di negeri empat musim. Oleh karena itu, sebagian besar bawang kita merupakan produk impor, pembelian dari luar negeri. ROL melaporkan bahwa bawang putih lokal hanya memenuhi lima persen kebutuhan dalam negeri dan 95 persen sisanya merupakan benda impor.1 Payahnya, ada pihak-pihak yang diduga memainkan harga sehingga barang semakin langka di pasar dan semakin mahal.
Beberapa waktu sebelumnya, harga daging sapi meroket. Urusan impor juga dituding sebagai salah satu penyebab mahalnya bahan pangan yang satu ini. Di tahun yang baru lalu kedelai melangka karena di Amerika Serikat sedang terjadi paceklik kedelai akibat iklim. Harga tempe dan tahu juga terkatrol naik.
Ternyata, banyak bahan pangan yang kita akrabi sehari-hari merupakan barang impor. Gandum, yang kelihatannya menjadi sumber karbohidrat kedua masyarakat kita, ternyata “secara iklim komoditas ini tidak bisa diproduksi dalam jumlah massal di Indonesia”2 Oleh karena itu, terdapat upaya menanam gandum di Indonesia tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan.3.
Di samping gandum terdapat kedelai, bawang, … dan entah apa lagi.4 Beberapa di antara bahan tersebut merupakan bahan tambahan, sebagian lagi merupakan bahan utama tetapi terdapat penggantinya di Indonesia. Sebagian dapat menggonjang-ganjingkan perekonomian kita, sebagian yaaa tidak berpengaruh amat.
Kreativitas para pengolah makanan di tanah air cukup tinggi akhir-akhir ini untuk mensiasati ketergantungan kita kepada bahan impor. Penggunaan ubi jalar sebagai bahan kue-kue atau roti untuk menggantikan bahan gandum, misalnya, merupakan bagian dari upaya ini. Masih banyak lagi bahan yang tengah dicoba populerkan untuk pengganti bahan dari luar seperti buah sukun.
Jika bahan impor tidak layak secara ekonomis, maka bahan alternatif seperti di atas akan bermunculan. Rasanya susah bagi kita untuk meninggalkan makan mi (yang berbahan gandum), tetapi kita dapat menciptakan mi dengan bahan yang ada.
Dengan mengembangkan secara berkelanjutan, maka kita nanti akan memiliki satu khazanah lemasak (kuliner) yang khas dengan bahan-bahan lokal. Mungkin kita tidak akan memiliki roti bawang, tetapi kita dapat mengembangkan kue loncang. Rasa, bentuk, dan jenis makanan akan berkembang khas untuk kawasan Nusantara, atau mungkin kawasan yang lebih sempit lagi. Kuliner adalah juga merupakan upaya tanggap manusia terhadap lingkungan sekitarnya.
Apabila hal ini berterima, kita akan lepas dari ketergantungan dari dunia luar dan memiliki jatidiri dalam urusan lemasak ini. [z]
- Lihat juga: Makanan kreatif
Catatan Kaki
- http://www.republika.co.id/berita/kolom/fokus/13/03/21/mjz8tc-dongeng-bawang-merah-dan-bawang-putih-di-negeri-kaya [↩]
- http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/118750 [↩]
- http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/04/03/10461864/Indonesia.Calon.Importir.Gandum.Terbesar [↩]
- Tak perlulah menghitung kurma, yang merupakan barang impor seluruhnya itu. [↩]