Anak Hewan
Si gendhuk saya yang kelas dua sekolah dasar sedang belajar dibantu ibunya. Kali ini yang dipelajarinya adalah nama-nama anak binatang dalam bahasa Jawa. Berkali-kali ibunya, yang orang kota itu, bertanya kepada saya, yang orang desa, tentang nama-nama anak binatang. Maklum, mereka, atau kami, sekarang tidak lagi menggunakan nama tersendiri untuk nama anak binatang. Biasanya disebut ‘anak cecak’, anak sapi, anak kerbau, atau anak ayam dan anak bebek.
“Anak gajah jenenge …”
Meskipun dalam LKS, buku yang digunakan untuk belajar tersebut, disebut dengan jeneng, ‘nama’, akan tetapi yang dimaksud bukan nama diri melainkan nama jenis. Dalam bahasa Jawa yang lain (Surakarta?) disebut dengan aran yang kurang lebih bermakna ‘sebutan’ dalam bahasa Indonesia.
***
Orang Jawa dahulu sangat rinci memberikan identitas pada masing-masing binatang yang antara lain dibagi sesuai dengan usia. Dugaan awam saya dalam hal ilmu bahasa, hal itu menyatakan pentingnya binatang menurut kelompok usia. Mereka akan memberi perlakuan berbeda antara pedhet dan sapi, antara belo dan jaran, ‘kuda’. Atau, pedhet dan sebangsanya merupakan komoditas yang berbeda dari sapi dan binatang dewasa lain, dengan harga yang berbeda …
Barangkali pentingnya identifikasi itu seperti perlunya kita menggolongkan mana flash disk, mana disket, mana hardisk …
Cuma herannya, mengapa juga memberi identitas tersendiri kepada anak cicak. Seingat saya, saya tidak pernah mendengar orang menyebut nama ‘sawiyah’. Saya mendengarnya dalam pelajaran bahasa Jawa beberapa puluh tahun lalu di sekolah dasar. Juga tidak terlihat adanya keperluan orang Jawa terhadap si sawiyah ini. Mungkin dahulu pernah penting, tetapi sejak beberapa puluh tahun lalu sudah tidak lagi mendapat tempat, kecuali pada pelajaran bahasa Jawa …1
***
“Anak kodhok apa, Pak?” terdengar istri saya bertanya dari ruang sebelah. Wadhuh. Setelah menetas dari telur, anak katak disebut cebong, sementara setelah bermetamorfosis menjadi katak kecil disebut precil. Yang mana? [z]
Catatan Kaki
- Menarik juga, mengapa pelajaran bahasa Jawa selalu mencantumkan pertanyaan tentang ‘sawiyah’ yang tidak banyak digunakan itu … [↩]