Vicky-isme
Minggu-minggu ini terdapat diskusi publik yang menarik tentang bahasa kita. Hal ini terpicu oleh berita hiburan — infotainmen — yang memberitakan (sekaligus menghibur) tentang seseorang bernama depan ‘vicky’. Kebetulan ia berjumpalitan dengan bahasa sehingga makna kalimat-kalimat yang ia ucapkan menjadi tidak jelas atau bahkan tidak ada.
Celaan, cemooh, dan diskusi kemudian bermunculan di media sosial. Media massa juga meramaikan, bahkan para pekerja acara hiburan juga ikut mengolok dan memparodi.
Saya tidak akan membahas bahasa yang dia gunakan yang kini dapat dengan mudah ditemukan di jejaring sosial. Saya hanya melihatnya sebagai gejala yang terjadi di bidang bahasa.
Barangkali tepat jika kita sebut gejala bahasa ini sebagai ‘vicky-isme’ atau mungkin dapat ditulis ‘vickiisme’. Upaya untuk berbicara (atau bahkan menulis) dengan gaya semacam itu dapat dianggap sebagai ‘vicky-sisasi’ atau ‘vicky-fikasi’ seperti ‘wikifikasi’-nya wikipedia. Istilah mirip, ‘vickinisasi’, digunakan secara ‘benar’ (saya khusnudzon saja pada beliau) oleh Goenawan Mohamad untuk menyebut gejala ini1 . Satu guyon yang kreatif di media sosial memunculkan kata ‘vickybulary’2.
Wah, saya rasa kata ini benar-benar plesetan yang pas.
***
Sekedar merenung, barangkali kita juga terjangkit hal serupa. Bahasa yang digunakan oleh kalangan akademik dan pejabat sering memusingkan pembaca dan pendengar yang kadang juga tidak protes dengan kata-kata yang dipilih untuk diungkapkan.
Hanya akademik dan pejabat? Mungkin seniman juga. Diksi (istilah apa pula ini… ) mereka luar biasa dan membuat kita manggut-manggut mendengar puisi yang mereka baca. Lirik lagu juga tidak sepenuhnya kita mengerti tetapi kita lancar melantunkannya.
***
Sebentar, saya masih melanjutkan (pura-pura) membaca dan merenung … (Eh, ternyata ada yang menyamakannya dengan Toni Blank, orang Yogya yang popular di media sosial!) [z]
Catatan Kaki