MQ: Manajemen (daging) Qurban #2
\
Tidak hanya membagi kepada mereka yang berhak, mengelola daging qurban di tingkat rumah tangga juga dapat membuat pusing. Akan tetapi tentu tidak semua orang. Para koki masyhur yang sering nongol di televisi mestinya tidak pusing sedikitpun mendapat sekantong daging. Juga orang-orang ini: beberapa kolega yang konon sengaja membagikan lagi daging ke orang lain karena mereka tidak lagi mengkonsumsi daging lantaran urusan pengaturan diet alias makanan.
Seorang teman yang ‘berdiet’ semacam itu tetap menerima daging jatahnya yang sepertiga itu1, dan kemudian membawa ke kantor keesokan harinya dalam bentuk sapi lada hitam. Sangat lumayan untuk teman makan siang …
Terdapat pula yang membagikan lagi karena mereka merasa tidak mampu memasak daging. “Jika pingin, beli saja di warung, lebih mudah …,” kilah seorang teman. Golongan semacam ini ada yang telah jauh hari berpesan kepada panitia untuk mengeksklusi mereka dari daftar penerima daging qurban.
Bagi yang mengkonsumsi daging pun harus berpikir, hendak diapakan daging itu, terutama jika menerima dalam jumlah banyak. Bagaimana agar tidak membosankan, awet hingga berhari-hari, dan tidak menimbulkan penyakit. Konon, kebanyakan makan daging dan kurang serat dari tetumbuhan dapat membuat sakit. Apalagi jika berurusan dengan kolesterol tinggi.
Diawetkan (rendang, abon, dendeng, masuk freezer), digiling untuk berbagai makanan, atau dimasak begitu saja seperti untuk tongseng atau sate dan gulai. Menjelang hari raya Idul Adha biasanya koran, tabloid dan majalah wanita menyajikan aneka resep berbahan daging hewan-hewan yang biasanya menjadi binatang Qurban. Kita tinggal memilih dan menyiapkan bumbunya2
Yang juga tidak terlalu mudah adalah mengenali jenis-jenis daging dan kemudian mengolah dengan tepat. Biasanya para awam daging seperti keluarga kami ini tinggal membeli daging bernama di supermarket atau pasar tradisional: daging untuk rendang, daging untuk rawon … Padahal, dalam sekantung daging dari panitia pembagian umumnya tercampur banyak jenis: daging ‘bagus’, daging ‘tak bagus’, jeroan, gajih alias lemak, serta tulang-belulang.
Belum lagi jika harus juga mengendus: ini daging sapi atau kambing. Untungnya (atau malangnya) selama ini belum pernah mendapat bagian daging unta dari panitia qurban.
Hari itu, tempat penggilingan daging yang juga melayani pembuatan bakso (meski hanya menggiling dan mencampur bumbu) di pinggir desa kami dipenuhi oleh orang yang berhajat sama: menggiling daging. Entah karena ingin membuat bakso atau hanya karena daging agak keras sehingga perlu dilunakkan agar terkonsumsi.[z]
Catatan Kaki