Potensi Kompleks Replika Rumah Tradisional
Mengunjungi kompleks Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, kita akan menemukan sekumpulan bangunan berarsitektur tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Kumpulan bangunan tersebut berada di belakang kompleks kantor dinas yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta, di antara kota Sangatta dan kompleks perkantoran kabupaten di Bukit Pelangi.
Kompleks Rumah Adat
Kompleks ‘Rumah Adat’ tersebut memiliki beberapa bangunan dibuat yang mengelompok. Jarak antarbangunan cukup rapat sehingga terasa seperti kampung. Terdapat setidaknya bangunan tradisional1 khas Kutei (Kutei Melayu dan Kutei Elit), Dayak, Bugis, Banjar, Jawa, Nusa Tenggara, serta Toraja. Kebanyakan merupakan rumah panggung dan berbahan kayu kecuali satu bangunan di tengah kompleks yang disebut bangunan adat Jawa.
Melihat sisa-sisa yang ada, seperti label (papan nama) yang telah dibongkar, kelihatannya dahulu kompleks ini (direncanakan) berfungsi seperti taman budaya. Dari sisa label tersebut dapat dilihat (rencana) fungsi masing-masing bangunan di kompleks ini antara lain sebagai sanggar tari, sanggar ukir, mes karyawan, gazebo, serta pujasera.
Secara fungsional, bangunan-bangunan tersebut digunakan sebagai fasilitas pendukung kegiatan dinas, seperti mess bagi tamu maupun bagi karyawan. Selain itu, terdapat juga bangunan yang difungsikan sebagai kantin, mushola, dan Galeri Arkeologi yang merupakan ‘museum mini’. Galeri tersebut merawat dan memamerkan koleksi arkeologi dan etnografi.
Sementara itu, dari segi bentuk, untuk mendukung kegiatan yang diwadahi terjadi berbagai modifikasi. Berbagai perubahan (dari bentuk aslinya) tersebut terlihat seperti pemasangan penyejuk ruangan (AC) dan sarana kamar mandi dengan material tembok dan keramik.
Merumuskan pertanyaan museologi
Melihat posisi bangunan-bangunan ini berada di kompleks kantor Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata, tentu kompleks tersebut tidak sekedar penginapan dengan mengambil bentuk bangunan tradisional.
Kompleks ini tidak dinyatakan secara resmi sebagai museum. Bangunan yang secara fungsional ‘paling museum’ pun hanya disebut sebagai galeri, yaitu Galeri Arkeologi–atau di papan nama lain disebut sebagai Galeri Cagar Budaya. Akan tetapi, melihat penampilannya, saya rasa kompleks di belakang kantor dinas ini dapat dikelola sebagai museum. Kompleks ini dapat masuk ke dalam kategori museum terbuka, museum arsitektur, bahkan mungkin living museum dengan berbagai pembenahan.
Menganggap kompleks tersebut sebagai museum, beberapa pertanyaan khas museologi muncul di benak saya setelah melihat kumpulan bangunan itu, yang cukup menarik untuk menjadi objek penelitian. Sejauh mana tingkat ‘ketaatan’ arsitektur bangunan-bangunan di kompleks ‘museum’ itu dengan bangunan aselinya?2 Sejauh mana perubahan dan adaptasi dapat dilakukan terhadap bangunan-bangunan tersebut?
Bagaimana hubungan antaretnis atau antarbudaya tercermin dalam kompleks ini. Pertanyaan besar ini dapat dirinci dengan melihat etnis mana yang mendapat perhatian dengan lebih baik dan mana yang kurang, mana yang besar (sebesar bangunan asli) mana yang dibuat lebih kecil. Komponen arsitektur apa yang ditonjolkan dari masing-masing etnis tersebut? Mengapa hanya etnis tertentu yang dibuatkan ‘perwakilan’-nya di kompleks ini?
Mengoptimalkan Potensi
Beberapa pembenahan dapat dilakukan untuk membuat kompleks ini menjadi ‘museum’, tidak sekedar tempat menginap bagi acara-acara seperti pelatihan. Labeling, pemberian keterangan lebih banyak, juga pemberian koleksi yang kontekstual dengan masing-masing bangunan dapat dilakukan.
Kegiatan kesenian yang pernah digagas dapat dihidupkan (lagi). Kerjasama dengan berbagai komunitas etnis yang ada di Kabupaten Kutai Timur untuk mengisi kompleks ini kegiatan dan benda dari kebudayaan mereka (di tempat asal atau sekarang di Sangatta dan sekitarnya) dapat dilakukan. Kompleks dapat menjadi sarana untuk melakukan hubungan antaretnis di wilayah kabupaten ini sehingga tercipta pemahaman atas sejarah dan budaya masing-masing yang pada gilirannya akan dapat membawa kemajuan bagi wilayah ini.
Penutup
Museologi cukup kompleks dan menarik sebagai bahan untuk menjadi ‘penasaran’ dengan berbagai hal berkait dengan pengelolaan sumberdaya budaya. Di era otonomi dan kesejagatan seperti sekarang ini pertanyaan-pertanyaan museologi bahkan terus bermunculan. [z]
- Disebut dalam papan nama sebagai ‘rumah adat’. Rasanya rumah adat adalah bangunan tempat upacara yang mungkin tidak dihuni atau hanya diami oleh tetua adat. Contoh bangunan semacam ini adalah berbagai bangunan di kompleks kraton. Sementara itu, bangunan joglo dan sebangsanya adalah rumah tradisional. [↩]
- Apa yang disebut aseli itu? [↩]