Menawar atawa Nganyang
\
Prof. Sjafri Sairin, dosen saya di Antropologi dulu, pernah berthesis bahwa masyarakat Indonesia memiliki mentalitas menerabas. Jalan pintas menjadi kebiasaan untuk mendapatkan hasil tanpa perlu kerja keras.
Saya pikir, kita juga punya sifat suka menawar, atau disebut nganyang dalam bahasa Jawa. Bukan saja dalam hal membeli sesuatu di pasar (sekarang hobi nganyang terkurangi karena kita lebih suka ke minimarket, supermarket, atau hipermarket.) Dalam banyak hal.
Saya perhatikan, jika kita berkendara, terutama motor, kita akan dengan tenang berhenti di sebelah kiri garis marka ketika lampu merah. Padahal, bagian tersebut digunakan untuk kendaraan yang akan berbelok ke kiri dalam persimpangan yang bekibolang, artinya belok kiri boleh langsung. Kita menawar agar mendapat lebih banyak dari jalur yang semestinya untuk kita.
Yang namanya nganyang, ya hanya sedikit. Tetapi orang lain akan nganyang lebih dari yang sudah nganyang terlebih dahulu: berhenti sedikit di sebelah kiri orang sebelumnya. Akhirnya, jalur kiri yang tidak untuk mereka yang berhenti di lampu merah jadi tertutup. Hak orang lain untuk lewat menjadi terampas.
Kadang nganyang jalur semacam itu juga terjadi di jalur sebelah kanan, yang digunakan untuk kendaraan berlawanan arah. Agaknya kita memang pemberani, bernyali besar, untuk meminta jatah jalur orang lain, bahkan yang berlawanan dengan kita.
Jika lampu lalu lintas sudah mulai merah, kita pun nganyang, meminta tambahan waktu sebentar dengan alasan takut ketubruk belakangnya, atau ngikut depannya. Akibatnya, giliran jalur lain kadang terkurangi jatahnya, hingga macet tidak dapat melaju karena terhalang kendaraan kita yang nganyang itu tadi.
***
Dalam birokrasi kita terdapat olok-olok “jika dapat dipersulit kenapa harus dipermudah.” Rupanya para birokrat juga memiliki tradisi nganyang kepada mereka yang harus dilayani.
Atau mereka yang harus dilayani juga nganyang kepada yang melayani. Mereka menawar dengan berbagai cara agar sesuai dengan selera dan kebutuhan sendiri, bukan sesuai dengan aturan dan prosedur yang telah ditetapkan.
***
Herannya, kita cukup toleran untuk orang-orang yang nganyang semacam itu, seakan permakluman bahwa hal tersebut lumrah, menjadi kebiasaan atau kebudayaan kita.
***
Kapan (atau perlukah) budaya kita menjadi fixed price? [z]