Esem Menteri
[]
Terdapat pameo Jawa: esem mentri, semu bupati, dupak bujang, seblak jaran. Mungkin dulu kata-kata ini ditujukan untuk menggambarkan bahwa dalam berkomunikasi kita perlu menyesuaikan dengan target komunikasi kita. Seorang menteri cukup diberi esem, atau senyum, dan ia akan tahu apa yang dimaksud. Pada kutub yang berseberangan, seekor jaran, yaitu kuda, harus di-seblak, atau dipukul dengan cemeti agar tahu apa yang harus diperbuat.
***
Mengamati perkembangan desain jalan-jalan yang sering saya lewati, membuat saya teringat kepada pameo di atas. Dulu ada jalan yang tidak memiliki marka, orang tahu bahwa jika berjalan harus di kiri. Kemudian diberi marka yang menandakan bahwa mereka tidak boleh melewati garis. Sekarang, marka dan segenap tanda yang simbolik itu tidak lagi mempan. Pengelola jalan menambahkan bangunan pemisah atau devider berupa pagar rendah di bagian tengah jalan. Pagar itu diperlukan untuk memaksa pengendara agar tidak berjalan di sisi yang salah.
Beberapa jalan di pemukiman menambahkan ‘polisi tidur’ untuk memaksa agar pengendara melambatkan kendaraan. Atau sebenarnya tidak peduli apakah pengendara melambatkan kendaraan, yang penting kendaraan melambat. Kita sekarang sudah senang berkendara dengan cepat meski di tengah pemukiman ramai. Bahkan, di tempat yang sedang ada upacara (layatan, hajatan) yang terpaksa menggunakan sebagian jalan pun kendaraan berlalu lalang seperti biasa.
Apakah kita sudah jatuh ke level jaran, yang harus diseblak agar tahu apa yang harus, atau harus tidak, dikerjakan? [z]