Arsitektur Museum
Sejak awal perkembangannya, bangunan merupakan hal penting yang tidak terpisahkan dari museum. Salah satu definisi tentang museum bahkan menyatakan bahwa museum adalah bangunan tempat menyimpan dan memamerkan benda-benda.
Fungsi bangunan
Bangunan museum adalah wadah objek serta wadah kegiatan. Sebagai wadah objek, baik dalam ruang koleksi maupun ruang pamer, bangunan harus dapat berperan sebagai pelindung yang menjaga keutuhan dan keselamatan dari objek. Sebagai wadah kegiatan, museum mewadahi manusia yang memerlukan kenyamanan dan fasilitas untuk melakukan kegiatan. Umumnya, kegiatan di museum terdiri atas administrasi, kegiatan konservasi, kegiatan penelitian, serta kegiatan pameran. Namun, tidak tertutup kemungkinan museum menyelenggarakan kegiatan lain dalam rangka publikasi atau pengumpulan dana untuk menunjang kegiatan museum.
Selain berkait dengan internal museum, keberadaan bangunan juga dapat berpengaruh kepada kawasan. Bangunan museum dapat merupakan ikon bagi kawasan, menjadi salah satu fasilitas publik yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan komunitas, juga akan merangsang perbaikan infrastruktur kota sebagaimana layaknya objek dan daya tarik wisata lain.
Jasper Visser (The Museum of the Future) menulis hal menarik berkait dengan bangunan museum. Menurutnya, bangunan museum hendaknya a) merangsang penemuan dan pembelajaran, b) teleporter ke dunia lain, c) aksesibel dan terlihat aksesibel, dan d) memungkinkan beragam penggunaan.
Bangunan museum hendaknya merangsang penemuan dan pembelajaran dengan ruang yang tidak membosankan, semi-chaotic dan terbuka, serta setiap sudut menantang untuk bertualang. Dalam kaitan dengan museum sebagai bagian dari kota, bangunan hendaknya menjadi semacam teleporter yang akan membawa pengunjung ke dunia lain. Bangunan digunakan untuk memindah pengunjung dari kesibukan kota ke tempat lain yang sama sekali berbeda. Ia mencontohkan ban berjalan yang sangat panjang di Ruhrmuseum Essen, Jerman, yang membawa pengunjung ke dunia lain.
Bangunan juga harus aksesibel dan terlihat aksesibel. Beberapa bangunan museum seakan menyatakan ‘coba datang jika berani!’. Bangunan terasa berjarak dari kesibukan kota dan dari orang-orang yang mungkin akan mendekati. Fasilitas publik (amenitas) juga tidak terlihat jelas pada bangunan tipe ini. Sebagai contoh adalah bangunan museum terkenal, yaitu Guggenheim Bilbao. Kompleks ini terasa angkuh di pinggir sungai di Bilbao, Spanyol, dan orang kelihatannya lebih suka menikmati dengan melihat dari kejauhan.
Bangunan museum juga memungkinkan beragam penggunaan di luar pameran. Diskusi, workshop, pameran khusus, bahkan makan dapat difasilitasi oleh museum. Fasilitas itu tidak berada pada tempat-tempat yang inferior di museum seperti menyelip di ruang sempit, tetapi merupakan bagian penting yang terpadu dari museum.
Contoh bangunan yang cukup berhasil untuk mewadahi berbagai aktivitas dan kepentingan adalah Centre Pompidou, Paris. Di bangunan ini setidaknya terdapat museum of modern art, film center, music archive, library, restaurant, bar, store. Jika tidak akan mengunjungi pameran atau restoran, publik dapat menggunakan halaman luas di depan bangunan, juga teras pandang di atap bangunan.
Kecenderungan Bentuk
Kecenderungan arsitektur museum dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu menggunakan bangunan berbentuk seperti kuil klasik Eropa, menggunakan bangunan historis atau cagar budaya, serta menggunakan bangunan baru yang atraktif.
Kuil
Pada masa perkembangan museum secara masif pada sekitar abad ke-18, terdapat kecenderungan arsitektur museum mengambil bentuk seperti kuil Yunani/Romawi, dengan portiko khas di bagian akses masuk. Tiang-tiang besar menyangga arsitraf dan timpanon segitiga. Kecenderungan ini boleh jadi karena merupakan gaya bangunan yang sedang trend pada saat itu sebagai bangunan formal, akan tetapi dapat juga karena museum awalnya adalah bagian dari kuil tempat meletakkan benda-benda untuk dewi-dewi kesenian.
Museum dengan arsitektur semacam ini antara lain adalah British Museum di London. Di Indonesia, Museum Nasional atau Museum Gajah di Jakarta juga menggunakan bangunan neo-klasik yang secara khusus disebut sebagai Indische Empire Style.
Tidak hanya itu, di Mojokerto, Jawa Timur, Maclaine Pont mendesain museum untuk menyimpan arca dan berbagai temuan purbakala dengan gaya kuil, yaitu candi gaya Jawa Timur. Pintu gerbang dengan gaya Klasik Indonesia memberi akses kepada bangunan kecil dari museum, yang koleksi di dalamnya ditata seperti candi: arca utama diletakkan di bagian tengah, berbagai arca lain ditata di sekelilingnya lengkap dengan beberapa relief dari masa Klasik Indonesia.
Bangunan Bersejarah
Setidaknya di Indonesia terdapat kecenderungan untuk menggunakan bangunan bersejarah sebagai museum. Misalnya adalah Museum Joang ’45 di Kramat Raya Jakarta dan Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta. Beberapa isu dapat dikaitkan dengan penggunaan bangunan bersejarah, antara laina dalah konservasi dan makna.
Dari sisi konservasi, terdapat “1964 International Charter for the Conservation and Restoration of Monuments and Sites” yang dikenal sebagai The Venice Charter, dari Unesco. Sementara itu, di Indonesia terdapat Undang-Undang Cagar Budaya tahun 2010. Piagam dan peraturan tersebut melandasi arah penggunaan atau pengembangan bangunan cagar budaya, termasuk di dalamnya adalah penggunaan sebagai museum.
“Do not let us deceive ourselves… it is impossible, as impossible as to raise the dead, to restore anything that has ever been great or beautiful in architecture… That spirit which is given only by the hand and eye of the workman can never be recalled… And as for direct and simple copying, it is palpably impossible. What copying can there be of surfaces that have been worn half an inch down? The whole finish of the work was in the half inch that is gone.”
John Ruskin, 1849. The Lamp of Memory
Salah satu kasus yang menarik untuk dipelajari adalah restorasi Neues Museum di Berlin. Bangunan ini hancur pada Perang Dunia II. Setelah melalui perdebatan panjang (yang juga menghasilkan status Warisan Dunia bagi Museumsinsel, yaitu lokasi tempat Neues Museum berada), akhirnya David Chipperfield (arsitek) dan Jullian Harrap (konservator) merestorasi bangunan antara tahun 1997-2009. Akan tetapi mereka tidak melakukan dengan mengembalikan ke kondisi sebelum rusak. Berbagai bagian bangunan tersisa dibiarkan berdiri dan struktur-struktur baru digunakan untuk menggenapi yang hilang. Chipperfield menyatakan bahwa:
“This is a complete reconstruction, and we took the original building very much into account. It was important for us to not destroy any of the remaining original fragments.”
Menurutnya, arsitektur juga bagian dari cara kita bercerita. Dia ingin memberikan kesempatan kepada sejarah untuk mengekspresikan dirinya dengan memperlihatkan jejak dari Perang Dunia II dalam konteks baru.
Architecture is a method of storytelling, and making new versions of something that once existed is against his principles.
Bangunan khusus untuk museum
Banyak bangunan yang sengaja dibuat untuk museum. Umumnya bangunan-bangunan tersebut menggunakan gaya yang trend pada masa itu, atau justru menggunaan unsur-unsur lama. Museum Nasional Jakarta manggunakan bangunan yang khusus dibuat, juga Museum Sonobudoyo di Yogyakarta. Museum Sonobudoyo mengunakan gaya rumah jawa, meski pada masa tersebut juga berkembang bangunan-bangunan ‘modern’ a la Barat.
Monumen & Memorial
Setelah Perang Dunia banyak monumen yang juga digunakan sebagai museum. Di Indonesia terdapat Monumen Nasional yang menyimpan diorama–dan pernah menyimpan bendera pusaka–, Monumen Yogya Kembali yang menyimpan juga berbagai benda asli dan replika berkait dengan peristiwa Yogya Kembali.
Bangunan monumen biasanya tidak berbentuk gedung, melainkan tugu dan sebangsanya, sementara memorial sering melibatkan gedung, meskipun keduanya tidak mutlak berbentuk demikian.
Bangunan Modern & Posmodern
Bangunan (Super) Modern menjadi trend arsitektur museum pada saat ini. Di Indonesia terdapat antara lain Museum Tsunami Aceh karya M. Ridwan Kamil. Beberapa arsitek ternama dunia yang merancang berbagai bangunan museum antara lain adalah Frank Llyod Wright (Solomo R. Guggenheim, N.Y.C., 1959), Daniel Libeskind (Denver Art Museum, 2006, dan Jüdisches Museum, Berlin, 2001), Rem Koolhaas (Ruhrmuseum, Essen, 2010; Seoul National University Museum of Art, 2005), Frank Gehry (Weisman Art Museum, Minneapolis, 1993, dan The Guggenheim Museum Bilbao, Spanyol, 1997), I.M. Pei (Louvre’s Pyramid, 1989 dan Deutsches History Museum, Berlin 2003), serta Renzo Piano (Centre Pompidou, Paris, 1977).
Larry Flynn (2002) mengemukakan adanya tujuh trend dalam perancangan museum saat ini (atau tepatnya sekitar lima belas tahun yang lalu… ). Menurutnya, sekarang berkembang 1) Museum structure as artwork and attractor, 2) Greater emphasis on retail space and restaurants, 3) Grand halls for hosting events, 4) Flexible gallery space for travelling exhibits, 5) More outdoor art and landscaping, 6) Hardwiring for technology, dan 7) Parking as a top priority.
Masalah
Beberapa masalah dalam arsitektur museum antara lain adalah berkait dengan fungsi dan makna. Sering bangunan tidak fungsional untuk museum, aksesibilitas sering kurang, standar lama pada bangunan cagar budaya, aspek penampilan pada bangunan baru (yang lebih mengedepankan artikulasi si arsitek). Dari sisi makna, sering terjadi kontestasi antarmakna: makna historis atau arsitektonik bangunan dan cerita yang hendak dihadirkan. Bangunan-bangunan ikon sangat dominan: monumen atau museum. [z]
- Baca juga: Museum Bijbel Amsterdam
Saran Bacaan
Suzanne MacLeod 2005. Reshaping Museum Space: Architecture, Design, Exhibitions. Routledge.