Akik
\
Semua orang terkena demam akik. Setiap kali bersalaman, maka yang dilihat adalah jari-jemari, apakah di situ terselip batu cincin. Lapak-lapak akik di selatan Benteng Vredeburg yang biasanya sepi menjadi ramai dengan kerumuman. Di seputaran beteng dahulu hanya ada Pak Slamet Raharjo di depan Pasar Ngasem yang mengasah akik, sekarang di pinggir Alun-Alun Lor saja ada dua orang membuka lapak.
Si Kerikil
Penasaran, saya googling dan ternyata terdapat lema ‘akik’ dalam wikipedia berbahasa Inggris. Berarti, kata ini tidak hanya digunakan di Indonesia dan bahkan mungkin berasal dari luar. Menurut bacaan saya atas artikel singkat tersebut, ‘akik’ berasal dari wilayah Turki dan Iran. Istilah tersebut digunakan untuk menyebut batu agat, yaitu beberapa jenis batuan vulkan dan metamorfik yang memiliki warna menarik. Istilah teknisnya adalah kalsedon yang menurut kuliah dahulu batu jenis ini digunakan oleh manusia prasejarah untuk membuat alat.
Pada situs lain saya membaca bahwa batu mulia berkekerasan di atas 7,5 skala mohs, sementara batu setengah mulia memiliki kekerasan antara 6,5 hingga 7,5. Batu akik berada pada kelompok kedua ini, yang meski memiliki label harga hingga milyaran rupiah tetap saja bukan batu mulia.
Demam
Fenomena ini bukan hanya semakin dikerubunginya lapak akik dan menjamurnya bengkel serta para penjual dadakan. Kelihatannya demam sudah sedemikian tinggi sehingga dilakukan hal-hal yang merugikan seperti mencongkel batu nisan untuk digosok menjadi akik.
Akan halnya dengan booming akik akhir-akhir ini, sebagian pesimistis dan membandingkannya dengan demam ikan lohan atau tanaman gelombang cinta beberapa tahun yang lalu yang kemudian hilang. Sebagian yang lain percaya bahwa demam ini akan berlangsung lama, antara lain karena akik toh tidak berkembang-biak seperti ikan atau tanaman sehingga nanti akan habis dan harga tidak menurun.
Mungkin pendukung ‘keyakinan’ terakhir terinspirasi oleh perdagangan emas yang harganya tidak juga turun, bahkan cenderung terus naik dari masa ke masa. Namun, kebutuhan akan emas tentu berbeda dengan kebutuhan akan batu akik. Tadi di televisi ditayangkan beberapa makanan termahal di dunia yang ditaburi serbuk emas atau diletakkan di atas lapisan tipis emas.
Hanya, demam batu ini rasanya akan lebih lama daripada ikan lohan dan gelombang cinta. Terlihat dukungan dari beberapa instansi dan pemerintah daerah dengan mengharuskan pegawainya mengenakan akik. Benda ini juga digunakan sebagai cinderamata pada Peringatan KAA kemarin. Efek ekonomi lebih dieksplorasi dengan lebih sistematis daripada sekedar main harga yang mahal.
Cerita
Nilai akik bukan saja dari fisik batu: semakin langka dan indah, semakin tinggi nilainya, yang dalam bahasa ekonomi keseharian disebut sebagai mahal. Berbagai teknik digunakan untuk mengidentifikasi fisik itu. Akan tetapi, nilai sebenarnya terletak pada cerita dan kategorisasi batu yang dibuat. Minggu kemarin saya mendapat cerita bahwa ada seseorang yang telah membeli dua butir batu akik dengan harga lima ratus ribu rupiah. Namun, ia tidak bisa menjual lagi meski sudah dipotong nyaris separuh harga. Saya duga, ia tidak dapat ‘menempelkan’ nilai pada batu itu, dengan kata lain: tidak pandai bercerita tentang batu itu. Entah klasifikasinya, keunggulan fisiknya, atau mungkin ‘khasiat’-nya.
Cerita, aspek intangible ini, menjadi penjamin nilai bagi butir-butir batu akik. Jika dahulu dikembangkan cerita tentang butir batu-batu akik tertentu yang ‘berkhasiat’, sekarang dikembangkan cerita taksonomis. Terlihat muncul banyak jenis batu akik dengan beragam nama yang semakin hari semakin banyak. Seorang teman memecah batu rijang miliknya dan membagi-bagikan kepada para tetangga. Semua orang yang diberi konon memberi nama berbeda untuk batu yang berasal dari bongkahan sama …
Munculnya beragam nama dapat berarti pengenalan akan jenis batu akik semakin rinci, cakupan batu akik semakin meluas, atau kebutuhan yang semakin khusus. Penguasaan atas nama-nama untuk mengidentifikasi dan memilah beragam batu ini akan menjadi kunci sukses seseorang untuk menjadi ‘ahli akik’, apalagi jika ditambah dengan penguasaan atas ‘nilai mistis’, ‘nilai spiritual’ atau sejenisnya.
Jika kita melihat nama-nama akik yang beredar, maka terlihat bahwa ada upaya untuk mengidentifikasi kerikil berharga tersebut dengan wilayah asal, bukan dengan ‘khasiat’. Meski demikian, di masa transisi ini, dari khasiat ke keindahan, masih terlihat adanya ‘mistifikasi’ dengan memberi nama-nama yang diambil dari kosa ‘supranatural’.
Semakin rasional masyarakat, maka makna akik akan lebih berkait dengan aspek intrinsik seperti keindahan. Maka, boleh jadi nanti orang mengenakan akik lebih karena cocok dengan warna baju, bukan dengan hari lahir atau harapan atas keberuntungan.
Akhirnya?
Akik ini mendatangkan hal lain: banyak orang ingin mendapatkan keuntungan dengan menjadi penjual. Para pedagang dan wiraswastawan sejenis banting setir menjadi penjual akik. Beberapa orang teman membawa beberapa akik lengkap dengan senter khususnya. Jika ada yang berkenan dan harga cocok, ia akan melepas akik miliknya. Pertanyaan lain dar fenomena akik ini: jika semua menjadi penjual, siapa pembelinya?
Di sisi lain, konon demam adalah pertanda adanya infeksi. Jika panas yang dihasilkan sudah berhasil membunuh kuman atau virus yang menginfeksi, demam akan hilang dengan sendirinya. Jadi? [z]