Selfieum
/
Mengamati satu tempat wisata yang berlabel museum di sebuah kota, saya melihat bahwa atraksi wisata tersebut sangat ramah (friendly) kepada para pengunjung yang ingin berfoto. Di berbagai sudut orang dapat menggunakan objek untuk berfoto. Pun, beberapa properti sengaja diletakkan di dekat objek atau latar tertentu, untuk melengkapi pengambilan foto di tempat tersebut.
Pengunjung pun saya lihat suka berfoto, baik difoto sendirian, rombongan, foto selfie, maupun wefie, dengan latar benda-benda atau scene yang ada. Museum memanfaatkan hal ini dengan menarik biaya yang cukup tinggi untuk yang membawa kamera. Bagi yang tidak membawa, disediakan kamera di beberapa tempat.
Melihat di setiap sudut terdapat orang berselfie dan sebangsanya, saya khawatir mereka datang ke museum sekarang ini ‘hanya’ untuk berselfie. Ya sebenarnya lumayan mereka mau ke museum, namun jika selfie menjadi tujuan utama, maka aspek edukasi (dalam bentuk informasi dan pengalaman) yang disajikan museum tidak akan sampai kepada mereka. Tidak ada rasa ingin tahu akan objek yang dipamerkan, tidak pula ingin tahu lebih lanjut sehingga mencari sendiri pengetahuan selebihnya atau bahkan nanti menjadi pengunjung ulang. Repeater.
Yang penting adalah datang ke suatu tempat terkenal, mengambil foto diri di tempat tersebut sebagai semacam ‘ijazah’ yang mengesahkan kedatangannya. Sudah. Mereka tidak akan datang lagi karena toh sudah mendapatkan ijazah selfie dari tempat tersebut.
Atau jangan-jangan museum kita memang tidak peduli untuk melakukan edukasi. Yang penting pengunjung datang (sudah lumayan). Berselfie juga lebih bagus karena biasanya mereka akan mengunggah di media sosial sehingga publisitas museum akan terbantu.
Jadi, bagaimana jika ketimbang membuat museum yang php, kita membuat selfieum saja. Semacam museum untuk selfie. [z]