Manten
Sering kita menghadiri undangan perkawinan, namun sebenarnya yang kita hadiri hanyalah resepsinya. ‘Upacara’ perkawinan memang terlihat difokuskan kepada penerimaan tamu (resepsi), yang kadang hingga mengundang ribuan orang. Rangkaian upacara lain tidak dirayakan, dan biasanya hanya dihadiri oleh kerabat dan teman dekat.
Ritus perkawinan juga mengalami perubahan dari masa ke masa, terutama pada bagian ‘kembangan’, bukan pada perkara inti yang terdiri atas lamaran dan akad nikah. Maka mencatat tatacara perkawinan berdasar apa yang dilakukan masyarakat dan bukan berdasar buku pakem, dapat menjadi hal yang perlu dilakukan.
***
Menurut apa yang saya amati, masyarakat (Jawa, muslim) membuat serangkaian ritus perkawinan itu mulai dari lamaran hingga ngundhuh mantu. Beberapa minggu yang lalu saya diundang saudara untuk menghadiri acara lamaran. Pihak laki-laki, yang kebetulan berasal dari luar Jawa, datang ke rumah pihak perempuan. Seorang wakil keluarga, berbicara kepada pihak perempuan bahwa ‘apabila belum ada pembicaraan dengan pihak lain, maka keluarga pihak laki-laki akan melamar putri …’. Karena si anak laki-laki tersebut sudah berpacaran beberapa lama dengan anak perempuan yang punya rumah, dan mestinya sudah diperkenalkan dengan baik kepada keluarga, maka lamaran pun diterima.
Acara dilanjutkan dengan tukar cincin (disebut ‘tukar’ meski rasanya mereka hanya saling memasangkan cincin yang diambil dari wadah yang sama), foto bersama, dan kemudian makan bersama. Perkara tukar cincin ini, konon tidak dilakukan dalam gaya Yogyakarta. Atau, bahkan tidak dilakukan dalam adat Jawa dan diduga merupakan pengaruh Eropa.
Secara informal maupun formal, kedua keluarga kemudian membicarakan hari pernikahan, syarat-syaratnya, dan sebagainya. Keluarga kemudian sibuk mengurus pernak-pernik pernikahan, seperti undangan, suvenir, katering, gedung, dan pakaian baik untuk pengantin, orang tua, maupun keluarga lain. Tetangga dan teman dekat akan dilibatkan dalam kegiatan dengan diadakan rapat khusus yang di Solo disebut dengan kumbokarnan. Entah kenapa acara itu disebut dengan nama ksatria dari Alengka, Kumbokarno.
• Tentang suvenir, baca di sini.
Surat-surat kemudian diurus ke kantor KUA di tempat pihak perempuan berada. Tidak hanya surat-surat, calon pengantin perempuan pun harus imunisasi ke puskesmas. Kedua calon pengantin kemudian melakukan semacam penataran, atau dinasehati perkara perkawinan, di kantor KUA oleh petugas. Biasanya acara ini dilakukan bersamaan dengan pasangan calon lain. Namun, bersamaan dengan saya dahulu ada seorang laki-laki yang akan menikah lagi sehingga pasangan itu diberi nasihat tambahan secara terpisah.
***
Sehari sebelum tanggal pernikahan, kadang diadakan upacara siraman, yaitu memandikan calon pengantin. Tempat siraman berada di rumah masing-masing, meski dapat juga pihak laki-laki numpang di tempat perempuan. Salah satu alasannya menumpang tersebut misalnya adalah karena rumah jauh, padahal nanti akan dibawakan air dari pihak perempuan untuk dicampur pada air yang akan digunakan untuk memandikan calon pengantin laki-laki. Orang tua calon pengantin memandikan, diikuti oleh para tetua atau orang-orang yang dihormati.
Bersamaan dengan itu, tuan rumah menghiasi tempat yang akan digunakan untuk upacara keesokan harinya. Secara simbolis diadakan acara memasang bleketepe, yaitu sebangsa papan anyaman daun kelapa, di depan pintu rumah atau pendapa. Pemasangan tersebut dilakukan oleh orang tua calon pengantin perempuan. Tentu karena acara diselenggarakan di tempat pihak perempuan. Namun, Pak Jokowi konon juga memasang bleketepe di rumahnya ketika menikahkan putranya.
Pada malam harinya diselenggarakan upacara midodareni di rumah calon mempelai perempuan. Biasanya upacara ini disertai dengan upacara lain, seperti menyerahkan paningset (srah-srahan), dan tantingan. Jika masih ada kakak perempuan yang belum menikah maka diadakan upacara langkahan. Di wilayah Solo bahkan juga diserahkan calon pengantin laki-laki. Di wilayah tersebut juga diselenggarakan ‘nebus kembar mayang‘. Acara tersebut dilakukan dengan dialog dan tembang.
Namun, sekarang banyak yang mengganti upacara midodareni dengan pengajian.
Eh, kadang acara lamaran tidak diselenggarakan jauh-jauh hari, namun menjadi rangkaian acara pernikahan. Hal ini seperti dilakukan oleh Pak Jokowi yang akan menikahkan anaknya di Solo itu. Ia melamar dua hari sebelum akad nikah. Lamaran atau disebut tembungan itu dilakukan dengan mendatangi kediaman calon mempelai perempuan. Karena persiapan untuk keseluruhan acara sudah mendekati seratus persen, maka lamaran ini terlihat hanya formalitas. Mestinya sudah ada pembicaraan di antara kedua keluarga.
***
Pagi harinya, sesuai dengan waktu yang dianggap tepat, dilakukan akad nikah. Pada dasarnya, orang tua calon pengantin perempuan menikahkan anaknya kepada calon pengantin laki-laki. Dua orang saksi, satu dari pihak laki-laki dan satu dari pihak perempuan akan menyaksikan akad ini. Seorang petugas negara dari Kantor Urusan Agama akan mencatat peristiwa tersebut dan memberi buku nikah yang berisi kutipan akta nikah.
Tempat akad nikah seringnya adalah di rumah perempuan. Kadang, acara tersebut tidak diselenggarakan di rumah melainkan harus pergi ke KUA, atau ke masjid di dekat rumah, atau masjid yang terkenal. Terkadang juga dilakukan di tempat akan diadakannya resepsi, mungkin demi praktisnya.
Acara berikut adalah panggih. Mempelai perempuan yang tidak hadir dalam upacara akad nikah, akan dipertemukan untuk pertama kali dengan pengantin laki-laki. Upacara tersebut dilakukan di pendapa. Setelah itu diadakan acara di dalam rumah, atau dalem, yaitu kacar-kucur, dan kembul. Ada upacara ‘timbangan’ juga, yaitu ayah mempelai perempuan memangku kedua mempelai dan berkata: beratnya sama. Saya tidak tahu apakah hanya gaya Solo atau Jogja juga menyelenggarakan upacara timbangan ini.
Jika pengantin perempuan adalah anak terakhir yang akan dinikahkan dalam keluarganya, kadang diadakan upacara tumplak punjen. Ibu pengantin akan memberikan berbagai peralatan dapur kepada para tamu.
Acara biasanya sudah dihadiri pihak keluarga. Acara berikutnya adalah makan bersama, atau di kraton disebut dengan dhahar klimah. Yang menarik adalah bahwa acara makan tersebut diselenggarakan di Kesatriyan, yang menjadi tempat tinggal pengantin baru di kompleks kediaman para pangeran laki-laki.
Setelah itu baru acara resepsi. Tamu-tamu datang menyalami kedua pengantin dan keempat orang tua yang berdiri di depan pintu rumah (dalem).
Kadang upacara seharian yang cukup panjang ini diringkas, meski sering kali akad nikah tetap disendirikan. Hal ini terutama dalam resepsi dengan pesta duduk. Tetamu yang datang akan juga mengikuti seluruh rangkaian upacara, dari panggih hingga selesai, yang memakan waktu hingga dua jam. Makan bagi tetamu disampaikan dengan cara ‘piring terbang’ atau ‘usdek’. Sering juga dipentaskan organ tunggal dengan penyanyi setempat.
***
Akhir dari rangkaian acara panjang ini adalah boyongan. Pada hari yang sama atau menunggu beberapa hari kemudian, pengantin diboyong ke pihak laki-laki dalam acara acara ngundhuh mantu. Pada salah satu acara semacam itu di wilayah Kabupaten Magelang, pertangahan 2015 yang lalu terdapat acara pasrah-tampa dan nasihat dari penceramah agama. Sebagaimana umumnya, resepsi untuk tetamu pada acara tersebut dilakukan secara usdek.
• Tentang pidato, silakan tengok Mantra.
Begitu. Tentu banyak ragam tatacara pernikahan di antara masyarakat yang menjadi kekayaan budaya. [z]