Sepak Maya
\
Nonton “Mata Najwa” di MetroTV tentang suap dan pengaturan skor sepak bola, lantas nonton sinetron anak main sepak bola, “Si Madun” di stasiun tv lain, membuat saya teringat akan Baudrillard.
Konon, menurut sosiolog dari Prancis tersebut, kita mempercayai yang maya sebagai nyata. Hiper-realitas. Tidak jelas batas antara nyata dan maya. Begitu kira-kira, karena saya sebenarnya tidak dong dengan beliau.
Nah, nonton sepak bola yang nyata itu, ternyata maya juga: skor sudah diatur. Hal tersebut mirip nonton si Madun. Skor juga sudah diatur oleh penulis naskah dan kemudian sutradara. Jadi, nonton keduanya adalah nonton hal yang sama. Para suporter yang kehabisan suara di stadion pada intinya adalah menyemangati hal yang maya. Tidak ada pengaruh sama sekali pada pertandingan di lapangan. Seakan ada dinding kaca di antara tribun penonton dan lapangan hijau. Para pemain tidak mendengar mereka sama sekali. Persis seperti kita nonton televisi. Ada batas kaca antara kita dan ‘pemain’.
Oleh karena itu, seperti itu pula para penonton siaran langsung di rumah, yang lemas karena tim kesayangan mereka kalah. Kira-kira mereka mirip ibu-ibu yang menangis sewaktu tokoh idola mereka menderita, di sinetron yang mereka tonton.
Apalagi jika pertandingan sepakbolanya ditayang di televisi. Sinetron juga, meski sutradara dan penulis naskah tidak dicantumkan pada kredit di akhir tayangan. Lebih rumit lagi jika nanti sinetron si Madun juga tertarik untuk bercerita tentang suap pengaturan skor. Hiper-hiper-realitas. [z]