Istimewa
\
Menjadi yang istimewa mungkin impian terpendam manusia, keinginan untuk berbeda dari orang lain, terutama dalam hal kelebihan. Menurut Pak Abraham Maslow, keinginan menjadi istimewa masuk ke dalam keinginan nomor dua dari atas, yaitu kebutuhan akan penghargaan: kebutuhan akan status status hingga dominasi.
Maka orang berburu akan status demi keistimewaan.
Orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah tertentu, yang istimewa tentunya. Yang bagus atau kadang yang mahal. Sekolah sendiri membuat diri mereka istimewa, membuat prestasi, dengan status akreditasi, atau itu tadi, mematok uang sumbangan yang cukup besar. Atau sekedar membuat seragam yang berbeda dari sekolah lain.
Rombongan pesepeda motor, yang bukan karena mudik, adalah orang-orang yang memburu status. Mereka masuk ke lingkaran sosial tertentu dengan berbagai atribut material mereka. Kemudian mereka istimewa, atau ingin merasa istimewa dengan berbagai perlakuan: dikawal polisi, mendominasi jalan, hingga ‘boleh’ menerobos lampu merah. Kemudian mereka menyampaikan status itu dalam suara knalpot yang memekakan telinga.
Tetapi sebagian mereka jelas memang istimewa. Tidak semua orang berkesempatan mengendarai moge kesana-kemari.
***
Hanya saja, jika ada yang berkata “Bocah kae pancen istimewa..” boleh jadi maksudnya bukan anak yang penuh prestasi, tetapi memiliki masalah. Jadi, istimewa itu semacam cuplak karo andheng-andheng dalam ungkapan orang Jawa. Bisa merupakan penyakit, atau sesuatu yang membuat cantik.
***
Saya intip tukang martabak di depan pasar. Martabak biasa dengan satu butir telur seharga 12.000 rupiah, martabak istimewa mengandung tiga butir telur dibanderol dengan harga 20.000 rupiah. [z]
“Jogja Jogja tetap istimewa
“Jogja Tetap Istimewa”, Jogja Hip Hop Foundation
Istimewa negerinya istimewa orangnya
Jogja Jogja tetap istimewa
Jogja istimewa untuk Indonesia”