Museum, Mall, dan Upaya Meraih Publik
Perhadapan yang kontras
Salah satu fenomena yang sekarang muncul adalah tumbuhnya pusat perbelanjaan atau mall di berbagai kota di Indonesia. Bangunan-bangunan raksasa mengokupansi cakrawala kota dan berfungsi sebagai tempat perbelanjaan, menggantikan pasar-pasar tradisonal yang memang berprofil rendah. Orang berbondong-bondong menuju mall, dan mulai meninggalkan pasar tradisional.
Namun bukan hanya pasar tempat mbok bakul yang mulai sepi ditinggalkan pengunjung karena hal tersebut juga terjadi pada museum. Meski beberapa ‘museum’ mulai dikunjungi dengan masif namun rerata museum di Indonesia masih tidak mampu menarik minat masyarakat untuk berkunjung.
Orang memilih berkunjung ke mall daripada ke museum.
Museum dan mall kelihatannya dua entitas yang bertolak belakang. Museum terkesan kuno, mall terkesan modern dengan segenap pencahayaan, penataan, bahkan bau yang cukup menarik. Fasilitas mall pun ditujukan untuk memanjakan pengunjung. Toilet mall biasanya berbau harum, besih, sedangkan museum, kadang malah tidak disediakan toilet untuk pengunjung.
Di sisi lain, museum dianggap mengajarkan kebaikan—sebagai bagian dari institusi pendidikan—sementara mall dianggap mengajarkan hedonisme, seperti dikatakan oleh Tular Sudarmadi, ahli CRM (culture resources management, pengelolaan sumber daya arkeologi) dari UGM, dalam seminar memperingati International Museum Day tahun 2016 di Yogyakarta.
Bersimpangan di perjalanan sejarah
Namun, konon dahulu museum dan mall mulai muncul di dunia pada waktu yang bersamaan, sebagaimana dikatakan oleh James Bennet dari Art Gallery of South Australia pada Workshop Sertifikasi Kurator Museum, di Surabaya tahun 2016. Arsitektur museum dan mall pun mirip dalam beberapa hal. Pim Westerkamp, seorang kurator dari Wereldculture Museum, Belanda, melihat interior salah satu mall di Yogyakarta dan Tropenmuseum sangat mirip. Terdapat atrium di tengah, sementara di sisi-sisi beberapa lantai meninggi ke atas dengan selasar di tepi dan ruang-ruang di sisi lain. Ruang-ruang itu digunakan untuk memamerkan objek, baik di museum maupun di mall, yang dapat dilihat-lihat oleh pengunjung. Bedanya, di mall benda-benda yang dipamerkan untuk pengunjung dapat dibeli, sementara di museum hanya untuk dilihat.
Di tengah perjalanan sejarah, dua entitas ini terlihat menempuh jalan yang berbeda, atau yang salah satu meninggalkan yang lain, dalam hal ini mall meninggalkan museum. Salah satu indikasinya adalah mall semakin ramai dikunjungi, sementara museum harus berjuang keras untuk mendapatkan pengunjung.
Setelah cukup lama bersimpangan, kini museum dan mall mulai bertemu lagi. Beberapa museum menyelenggarakan pameran di mall, baik secara tetap (atau tepatnya semi-permanen) atau temporer.
Yang lain adalah berdampingan dengan mall. Sebagai contoh adalah Yokohama Anpanman Children’s Museum and Mall1. Museum ini menyimpan berbagai benda tentang tokoh dari animasi televisi juga pada buku anak-anak, Anpanman. Pengunjung dapat pergi ke museum, juga dapat berbelanja berbagai hal tentang Anpanman di area yang disebut mall.
Alasan yang digunakan adalah untuk menggaet pengunjung.
Salah satu contoh dari kegiatan museum di mall adalah program Museum Goes to Mall, sebagaimana dilakukan oleh beberapa museum atau organisasi museum. Pada tahun 20xx Museum Sangiran (BPSMP Sangiran) menyelenggarakan pameran dengan mengambil tempat di salah satu mall di kota Magelang, Jawa Tengah.
Pada awal tahun 2016, Dinas Kebudayaan DIY menyelenggarakan pameran di Jogja City Mall. Pameran yang diselenggarakan
di atrium pusat perbelanjaan tersebut menyedot cukup banyak pengunjung, bahkan jauh lebih banyak dari rata-rata pameran tahunan tersebut yang diselenggarakan di tempat lain. Sebagai contoh, pernah diselenggarakan pameran Museum Goes to Istana yang mengambil tempat di Pagelaran Keraton Yogyakarta, serta Museum Goes to Campus, yang diselenggarakan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM.
Pameran di Mall untuk menarik calon pengunjung
Mendekati pengunjung adalah salah satu strategi kehumasan museum. Jika pengunjung tidak kunjung mengunjungi, maka museum dapat menyambangi mereka di tempat-tempat masyarakat, yang merupakan target pengunjung museum, itu berkumpul.
Museum dapat melakukan setidaknya dua tipe pameran di mall. Yang pertama adalah menyewa ruang untuk pameran semi-permanen, dan yang kedua adalah melakukan pameran bersama. Tipe pertama dilakukan misalnya oleh museum-museum di Amerika Serikat, seperti Museum x yang sejak tahun x melakukan pameran di mall kota x. Di Indonesia, terdapat Museum Affandi yang memiliki ruang pamer di sebuah pusat perbelanjaan di Yogyakarta.
Tipe kedua, pameran bersama, biasanya dilakukan secara temporer, dengan dikelola oleh suatu instansi atau organisasi, atau oleh keduanya. Sebagai contoh adalah Museum Goes to Mall sebagaimana telah disebut di atas.
Tentu biaya yang digunakan untuk melakukan pameran di mall cukup besar, mengingat mall adalah tempat bisnis yang hitungan revenue-nya sangat teliti. Oleh karena itu pameran harus disiapkan dengan matang agar terjadi efisiensi. Melihat pameran yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DIY yang baru lalu, jatah ruang yang sempit juga membuat seleksi atas materi yang ditampilkan oleh museum-museum peserta. Oleh karena itu, pameran terlihat kompak. Di sisi lain, karena citra mall, maka terdapat pula upaya mematut diri. Terlihat bahwa para peserta merancang visual pameran dengan lebih baik. Para penjaga pun terlihat lebih bersemangat ketimbang pameran di bawah tenda di ruang terbuka dengan resiko terpapar sinar matahari, terembus angin, dan terterpa hujan.
Publisitas Museum
Pameran di mall semacam itu digunakan untuk memberitahu masyarakat bahwa terdapat museum yang menarik untuk dikunjungi, lengkap dengan aktivitas apa yang dapat dilakukan di museum tersebut. Setidaknya diberitahukan kepada pengunjung mall tentang hal-hal yang dapat dilihat, dapat dilakukan, dan dapat dibeli di museum seperti rumusan dalam pariwisata mengenai suatu atraksi wisata, yaitu what to see, what to do, dan what to buy. Tentu lengkap dengan beberapa hal seperti lokasi dan aksesibilitas, lebih baik lagi jika dilengkapi dengan keterangan tentang akomodasi dan amenitas yang disediakan oleh museum.
Mendekati masyarakat agar mau berkunjung ke museum merupakan kewajaran di tengah minimnya pengunjung museum kita. Museum-museum sekarang dituntut untuk berbenah diri dan tidak meneruskan praktik di masa lalu yang merasa sebagai lembaga terhormat menara gading yang jauh dari masyarakat. Museum mulai membuat program-program yang menjawab kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan akan hiburan—di samping pendidikan, sehingga museum perlu mengenalkan diri kepada target pengunjung.
Tentu, dalam konsep sekarang, mendekati calon pengunjung bukanlah hal yang rendah dan mustahil untuk lembaga ‘terhormat dan terpelajar’ yang bernama museum. Dalam bidang kehumasan, atau public relation, mendekati masyarakat untuk mendapatkan pengunjung merupakan keharusan.
Museum di Mall, Gagasan yang tidak Mesti Utopik
Perkembangan tersebut tentu dapat berlanjut. Jika mall suatu ketika terlalu banyak dibangun dan kemudian kurang mendapat perhatian, mungkin saatnya museum mengambil alih. Satu mall dapat digunakan secara keseluruhan oleh satu museum, atau beberapa museum bergabung menjadi satu menggunakan bangunan mall. Pengelola gedung dapat menyewakan bangunan atau ruang-ruang kepada museum, atau dalam istilah Revianto Budi Santoso, seorang pemerhati museum dari Yogyakarta, adalah hosting museum. Dalam kasus ini, museum dapat berkolaborasi dengan berbagai amenitas dan akomodasi yang telah ada di mall, seperti toko untuk penjualan cinderamata, bioskop, toko buku, juga restoran.
Hal ini sebenarnya bukan sama sekali baru. Museum mall berkembang akibat resesi global di akhir dasawarsa pertama tahun abad ke-21. Di beberapa negara, museum menempati bagian yang cukup luas (sebagian besar lantai?) di dalam mall, dan kemudian malah menarik pengunjung untuk lagi mengunjungi mall. Mereka melihat pameran museum dan berbagai aktivitas edukatif lain2. Sementara itu, di Amerika Serikat terdapat antara lain Minnesota Children’s Museum yang terletak di dalam Mall of America3 dan Santa Cruz Children’s Museum of Discovery di dalam Capitola Mall4. Daftar negara lain yang memiliki museum di dalam mall cukup banyak, antara lain Iran (pada mal Isfahan City Center), Turki, dan Spanyol2.
Tentu tidak elok menunggu mall bangkrut untuk diokupansi oleh museum. Maka, kolaborasi di antara keduanya seharusnya segera dirintis untuk ‘menjinakkan’ mall dan ‘mempublikkan’ museum.[z]
Rujukan
“http://www.sccmod.org/.” 2016. Diakses Mei 27. http://www.sccmod.org/.
“Mall Museums.” 2015. Wikipedia, the Free Encyclopedia. https://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Mall_museums&oldid=686191759.
“Minnesota Children’s Museum – Mall of America.” 2016. Diakses Mei 27. https://www.mallofamerica.com/shopping/directory/minnesota-childrens-museum.
Yogyakarta-Surabaya, 1 Juni 2016