Partisipasi Publik Kampus dalam Pengembangan Museum
[]
*Dikembangkan dari makalah yang disampaikan dalam Seminar “Peranan Museum Goes to Campus terhadap Pengembangan Museum di Indonesia”, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman & UNS, Surakarta, 4 September 2017.
Museum dan kampus berhubungan dalam setidaknya empat hal. Pertama, perguruan tinggi mendirikan museum, yang sebagian di antaranya disebut museum universitas. Kedua, perguruan tinggi mendukung dan membina suatu museum tertentu. Ketiga, perguruan tinggi menghasilkan para professional museum. Keempat, perguruan tinggi menyediakan sumberdaya: dosen, mahasiswa, untuk menunjang kegiatan museum. Oleh karena itu, banyak upaya yang dilakukan untuk mendekatkan antara museum dan kampus, termasuk di antaranya adalah kegiatan “Museum Goes to Campus” seperti yang dilakukan sekarang.
Makalah ini akan mencoba menghubungkan museum dan kampus terutama dengan para sivitas akademikanya yang berpotensi untuk membantu pengembangan museum.
Museum dan Publik
Jawaban tercepat atas pertanyaan “apa yang dapat dilakukan oleh publik terhadap museum” adalah: mengunjungi. Gunakan semua fasilitas yang ada: touchscreen, label, audio guide, leaflet. Jika ada restorannya, atau kios cinderamata, beli sebanyak-banyaknya. Jika tidak, buat interaksi lewat media sosial. Mengunjungi merupakan harapan terbesar museum atas publik, karena pameran (yang memerlukan kunjungan itu) merupakan sarana utama museum untuk berkomunikasi dengan khalayak berkait dengan objek yang menjadi koleksinya.
Namun museum membutuhkan lebih dari itu.
Definisi museum baik yang dibuat oleh ICOM maupun oleh pemerintah RI juga mengisyaratkan perlunya publik dalam dunia permuseuman, terutama dalam hal pelayanan. Ringkasnya, museum dicipta untuk melayani keperluan publik. Dengan kata lain, mengutip Yulianto, objek koleksi museum merupakan sumber daya yang harus memberikan manfaat kepada khalayak.1
International Council of Museums (ICOM) dalam Statuta tahun 2017 menyatakan bahwa,
“A museum is a non-profit, permanent institution in the service of society and its development, open to the public, which acquires, conserves, researches, communicates and exhibits the tangible and intangible heritage of humanity and its environment for the purposes of education, study and enjoyment.”2
Sementara itu, menurut pemerintah RI,
“Museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat.”3
Hubungan museum dan publik bukan hanya searah, yaitu museum memberi manfaat kepada publik, namun museum juga memerlukan dukungan publik untuk segala kegiatannya.
Peluang partisipasi publik dalam PP Museum
Partisipasi publik di museum dimungkinkan dalam Peraturan Pemerintah 66/2015. Partisipasi tersebut antara lain adalah mendirikan museum, memanfaatkan museum, serta beberapa hal bersifat partisipasi kepada suatu museum tertentu.
Kesempatan untuk mendirikan museum dinyatakan pada pasal 3 PP tersebut, yaitu
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, dan Masyarakat Hukum Adat dapat mendirikan Museum.
Museum tentu harus dimanfaatkan keberadaanya. PP Museum juga membuka peluang pemanfaatan untuk beberapa hal sebagaimana tercantum pada Pasal 41:
(1) Pengelola Museum, Setiap Orang, dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat memanfaatkan Museum untuk layanan pendidikan, kepentingan sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, dan/atau pariwisata.
Kerjasama dalam pengembangan museum juga membuka peluang partisipasi publik. Pasal 39 PP 66/2015 menyatakan,
(3) Kerja sama dalam pengembangan Museum dilakukan oleh: a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah; c. Setiap Orang; atau d. Masyarakat Hukum Adat. (4) Kerja sama dilakukan dalam bentuk: a. pameran; b. penelitian; c. program publik; d. pelatihan sumber daya manusia; e. publikasi; f. perbanyakan atau replika Koleksi; dan/atau g. promosi dan informasi.
Sementara itu, peranserta masyarakat secara khusus dicantumkan pada Pasal 54 sebagai berikut.
(1) Peran serta yang dilakukan oleh Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 dapat berupa:a. ide; b. sarana dan/atau prasarana Museum; c. penyerahan Koleksi; d. penitipan Koleksi; e. tenaga; dan/atau f. pendanaan Museum.
Hal seperti ini dilakukan oleh UNS untuk mempersiapkan atau mengembangkan museum.
“… “Sejarah selama 41 tahun tentu pasti ada benda-benda bersejarah yang sekarang menjadi milik pribadi, untuk itu, kami mengundang masyarakat yang memiliki benda bersejarah yang berkaitan dengan UNS untuk bisa menitipkan atau menghibahkan barang tersebut,” kata Ketua Tim Persiapan Museum UNS, Sahid Teguh Widodo, Selasa (7/3/2017).
“Koleksi pribadi tersebut bisa dihibahkan, atau dititipkan ke Museum UNS untuk lebih memperkaya koleksi museum,” tegas Sahid. …”4
Partisipasi publik sebagai tindakan etis dan praktis
Partisipasi publik dalam pengembangan museum merupakan bahasan yang cukup penting dalam museologi atau kajian museum. Beragam alasan menjadi penyebab munculnya pandangan akan perlunya partisipasi publik di museum. Di antara alasan tersebut adalah inklusi sosial5, pandangan etis bahwa source community juga memiliki hak atas penjelasan objek, serta keterbatasan museum di berbagai bidang, mulai dari pendanaan hingga penjelasan/penafsiran atas objek.
Salah satu pegiat museum menggagas “gerakan” Museum 2.0 atau The Participatory Museum untuk menggarisbawahi partisipasi publik di museum. Nina Simon, seorang direktur museum, desainer, menyatakan bahwa upaya ini ditujukan untuk “working with community members and visitors to make cultural institutions more dynamic, relevant, essential places.”6
Model partisipasi lain yang digagas publik adalah komunitas pecinta museum, sahabat museum, atau friends of museum. Secara umum, komunitas pecinta museum biasanya tidak memiliki ikatan dengan museum tertentu, sedangkan sahabat museum biasanya mengikatkan diri pada museum tertentu. Sebutan atau nama untuk kelompok-kelompok semacam ini dapat beragam.
Sebagai contoh adalah Friends of Postal Museum di Inggris. Dinyatakan bahwa “The Friends of the Postal Museum supports The Postal Museum in all its activities in preserving and conserving Britain’s rich postal heritage – and making it available to a wide audience”
Lebih lanjut,
“The Friends supports The Postal Museum in many ways, including financial assistance for specific projects (recently funding has been provided for the conservation of Post Office Underground Railway vehicles), promoting the work undertaken and the ideals of the organisation, and offering voluntary help where possible.
As a Friend you receive many benefits, including
✔ the full-colour journal Cross Post twice a year, containing articles that embrace all aspects of Britain’s rich postal heritage …” (“What it means to be a Friend of The Postal Museum,” n.d.)
Publik kampus (sivitas akademika) bisa apa?
Kunjungan khalayak merupakan hal yang paling ditunggu oleh pengelola museum. Sebagai lembaga yang memberikan informasi kepada publik utamanya dengan pameran, maka kunjungan ke museum sering menjadi target utama pengelola museum. Kalangan kampus dapat menjadi target pengunjung yang spesifik antara lain karena tingkat intelektualitas serta jumlah yang relatif besar. Mahasiswa, alumni beserta keluarganya, merupakan kelompok yang dapat berjumlah besar.
Riset yang dilakukan oleh pihak luar juga diharapkan oleh museum. Museum dapat (=harus) melakukan riset, namun pihak luar dapat membantu museum dengan riset-riset yang dilakukan. Riset dapat diselenggarakan pada koleksi, atau pada sisi pengelolaan museum secara keseluruhan termasuk edukasi, konservasi, kehumasan, serta manajerial. Kembali ke PP Museum, Pasal 34 peraturan tersebut menegaskan bahwa:
(1) Pengkajian di Museum dilakukan terhadap: a. Koleksi; b. pengelolaan; c. pengunjung; dan/atau d. program.
(2) Pengkajian di Museum sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. wajib dilakukan oleh Pengelola Museum; dan/atau b. dapat dilakukan oleh Setiap Orang atau Masyarakat Hukum Adat dengan izin dari kepala Museum
Kalangan kampus lekat dengan riset sebagai salah satu aspek dari Tridharma Perguruan Tinggi selain pendidikan dan pengabdian. Riset tersebut dapat berupa penelitian yang dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa dalam bentuk skripsi-tesis-disertasi, penelitian untuk tugas kuliah, maupun penelitian lain seperti untuk lomba karya tulis. Maka, potensi riset kalangan kampus cukup besar untuk dapat membantu museum melakukan aktivitas.
Hal ini juga disebabkan karena museum dan universitas tidaklah terpisah jauh. Owen, John, & Blunt menulis:
“There are many similarities between museums and universities. Both are places where knowledge is made and disseminated; both employ creative people who are allowed considerable freedom to generate new ideas and pursue their own projects; at the same time, both are increasingly responsive to wider public agendas and commercial imperatives which require them to think strategically about how they are distinctive and to prove their worth in the context of shifting political priorities and economic pressures”7.
Berdasar kesamaan-kesamaan tersebut kerjasama antara museum dan khalayak universitas akan dapat berjalan dengan mudah. Edukasi dan riset, misalnya, yang berada di kedua lembaga induk dan anak, dapat bekerja sama secara mutual. Sumber koleksi, yang sebagian merupakan sejarah institusi, sebagian lain dapat merupakan hasil riset yang dilakukan oleh khalayak yang berada di universitas.
Sebagai akibat dari riset–dan level intelektualitas kalangan kampus–maka mereka dapat menyumbangkan ide-ide yang diperlukan untuk mengembangkan museum.
Dari sisi fasilitas dan pendanaan, para alumni suatu kampus juga dapat menjadi sumber daya museum universitas, terlebih jika terdapat alumnus yang menjadi filantrofis.
Penutup: banyak tempat bagi publik di museum
Terdapat banyak kemungkinan untuk publik universitas (sivitas akademika?) berpartisipasi dalam pengembangan museum di Indonesia. Selain secara institusional, khalayak di universitas dapat secara sendiri-sendiri melakukan upaya yang dapat bermanfaat bagi perkembangan museum.
Memplesetkan tag line sebuah iklan rokok, “Nggak ada loe, museum nggak rame”.
Magelang, 3 September 2017
Bacaan
ICOM. 2017. ICOM Statute. http://icom.museum/the-organisation/icom-statutes/3-definition-of-terms/.
Owens, Alastair, Eleanor John, dan Alison Blunt. 2016. “At Home with Collaboration: Building and Sustaining a Successful University–Museum Partnership.” In Cultural Policy, Innovation and the Creative Economy: Creative Collaborations in Arts and Humanities Research, 147–61. London: Palgrave Macmillan.
Pemerintah RI. 2015. Peraturan Pemerintah RI No. 66 Tahun 2015 tentang Museum.
Sandell, Richard. 2003. “Social inclusion, the museum and the dynamics of sectoral change.” Museum and Society 1 (1): 45–62.
solo.tribunnews.com. 2017. “Belum Sempurna, UNS Harapkan Partisipasi Masyarakat Lengkapi Koleksi Museum UNS,” Maret 8. http://solo.tribunnews.com/2017/03/08/belum-sempurna-uns-harapkan-partisipasi-masyarakat-lengkapi-koleksi-museum-uns.
“The Participatory Museum.” 2017. Diakses September 3. http://www.participatorymuseum.org.
“What it means to be a Friend of The Postal Museum.” n.d. http://www.postalmuseum.org.
Yulianto, Kresno. 2016. Di Balik Pilar-Pilar Museum. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.