Sengkalan: Menterjemahkan Langit ke Bumi
[]
Oleh: Sektiadi
Disajikan pada Seminar Kajian Pameran “Angkasa Raya: Ruang dan Waktu”. Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, 17 Desember 2019.
1
Saat waktu tidak dianggap hanya siklis, berputar dan berulang, sejarah kemudian dicatatkan. Waktu yang linear, berjalan ke depan, membuat padanya dapat ditempatkan noktah-noktah penanda zaman.
2
Masyarakat Jawa mengenal sengkalan sebagai salah satu tanda tersebut. Sengkalan adalah kata-kata yang melambangkan angka tahun. Kata-kata ini dapat berupa deretan kata biasa, yang disebut sengkalan lamba, namun ada pula yang harus ditafsirkan dari bentuk gambar, relief, atau benda. Sengkalan kedua ini disebut sengkalan memet.
Sengkalan juga dapat menggunakan dasar perhitungan pergerakan bulan, atau kalender komariyah. Sengkalan ini disebut sebagai candrasengkala. Sengkalan juga dapat menggunakan dasar pergerakan matahari, yang disebut suryasengkala.
Sengkalan di Indonesia banyak ditemukan pada kepurbakalaan Hindu-Buddha, meski juga berlanjut pada masa Islam. Sengkalan tertua di Indonesia adalah kata crutindriyarasa yang terdapat pada Prasasti Canggal dari Magelang, yang melambangkan tahun 654 Saka, bertepatan dengan tahun 732 Masehi.
Sengkalan dikenal baik di India maupun di Daratan Asia Tenggara. Berbeda dari tempat lain, sengkalan di Indonesia memiliki keistimewaan yaitu biasanya membentuk kalimat, bukan hanya jejeran kata.
Kata-kata dapat digunakan untuk melambangkan angka tahun karena dalam budaya Jawa (hampir) setiap kata memiliki nilai atau watak. Sebagai contoh, kata “tangan” memiliki nilai dua (2) karena tangan berjumlah dua.
Jejeran kata itu harus dibaca dari belakang, karena aturan tata bahasa Sanskerta, juga Arab, angka dibaca terlebih dahulu pada bagian satuan (ekan), baru puluhan (dasan), dan seterusnya. Maka, candrasengkala Dwi (2) naga (9) rasa (6) tunggal (1) harus dibaca tahun 1692.
3
Sengkalan potensial untuk memberikan warna budaya tempatan, setidaknya di Jawa. Maka, bangunan-bangunan baru, sekalipun komersial, sering menggunakan sengkalan sebagai penanda peresmiannya. Sengkalan juga dapat dikembangkan misalnya untuk surat-surat atau dokumen resmi.
Atau, masyarakat dapat secara mandiri kreatif mengembangkan sengkalan, misalnya untuk nama diri bayi…
4
Sengkalan mungkin berasal dari kata “kala” yang berarti waktu, yang juga digunakan dalam bahasa Indonesia. Selain kata kala, bahasa Indonesia juga mengenal kata “ketika”. Ragam dari kata ini juga digunakan pada beberapa etnis di Indonesia untuk menyebut alat untuk menghitung waktu (baik dan buruk, dan sebagainya), yang di Bali disebut tika, dan pada suku bangsa di Sulawesi (seperti Tolaki, Bugis, Makasar) disebut kutika. Setidaknya ada kata yang mirip untuk masyarakat Minang, yaitu katiko, “ketika”.
Maka, terlihat bahwa perhitungan dan pemahaman kita tentang waktu terpengaruh oleh pergerakan benda-benda langit. [z]
“Nawa nyawiji muluk ing asta, 2019″
App.
Beberapa tulisan tentang sengkalan
Annisa. 2011. “Penggunaan Kronogram di Indonesia, Vietnam, dan Kamboja Abad VII-XIV: Pendekatan Arkeologis dan Epigrafis”. Tesis, Program Magister Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
R. Bratakesawa. 1952. Katrangan Tjandrasengkala. Djakarta: Balai Pustaka.
Macaryus Sudartomo. 2007. “Sengkalan: Tinjauan Struktur dan Isi”. Jurnal Sintesis 5(2) [LPPM USD].
Yuwono Sri Suwito dkk. 2015. Prasasti dan Sengkalan di Kompleks Makam dan Masjid Gede Mataram Kotagede. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY.