Perawatan Warisan Budaya/Cagar Budaya
[]
Disampaikan pada Seminar Warisan Budaya dan Cagar Budaya, Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul, 5 April 2021
Terima kasih kepada Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul, yang telah meminta Badan Musyarawah Musea (Barahmus) DIY untuk hadir berbagi materi pada kesempatan ini. Sesuai permintaan Dinas Kebudayaan, saya akan memulai diskusi kita dengan bercerita tentang perawatan objek warisan budaya atau cagar budaya, dan mungkin akan lebih beraroma museum daripada cagar budaya pada umumnya. Sebenarnya sama saja, dan menurut UUCB, kurator sebagai pengelola museum harus melaporkan cagar budaya yang dikelolanya kepada TACB setempat.
Kali ini mungkin tidak ada peserta yang datang dari museum pada kesempatan ini, tetapi pengetahuan ini semoga bermanfaat untuk: 1) memahami pekerjaan teman-teman di museum, 2) memberi inspirasi tentang perawatan objek cagar budaya atau warisan budaya yang berada di sekitar Ibu-Bapak semua.
Nilai Penting
Seperti telah disampaikan oleh dua pembicara sebelumnya, suatu objek kebendaan ditetapkan sebagai warisan budaya atau cagar budaya adalah karena memiliki nilai penting. Hal ini telah ditetapkan dalam Undang-Undang Cagar Budaya.
Undang-undang tersebut telah menetapkan bahwa suatu objek hendaknya memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan, untuk dapat ditetapkan sebagai cagar budaya.
Objek itu mungkin benda sehari-hari, benda seperti yang ada di rumah kita, sehingga barangkali kita akan melewatinya jika dipamerkan. Namun karena di simpan di museum, pastilah ada nilai pentingnya, meski mungkin tidak ditetapkan sebagai cagar budaya. Objek keris Naga Siluman yang dahulu menjadi milik Pangeran Diponegoro jelaslah merupakan objek penting, atau bernilai penting, di media massa terlihat dua kepala negara beserta ibu negara masing-masing, berfoto di sampingnya…
Maka, perawatan nantinya juga diarahkan agar nilai penting yang terkandung dalam objek ini tidak hilang.
Tiga faktor: Objek-Kerentanan-Penanganan
Perawatan atau konservasi, adalah upaya yang ditujukan untuk memperpanjang keberadaan objek, yaitu melalui tindakan yang memperkecil pelapukan dan kerusakan, serta menghindari kehilangan informasi.
Penting untuk dipahami di sini bahwa konservasi tidak hanya untuk menjaga fisik objeknya, tetapi juga informasinya. Beberapa jenis kerusakan mungkin menghilangkan informasi yang penting yang dahulu membuat objek tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya.
Terdapat tiga hal besar dalam perawatan benda koleksi, atau benda warisan budaya/cagar budaya. Yang pertama adalah objek itu sendiri, yang kedua adalah kerentanan, yaitu potensi dari objek untuk dapat rusak, hilang, dan yang ketiga adalah penanganan yang dapat dilakukan terhadap objek untuk memperpanjang usianya.
Dalam hal kerentanan terdapat bahan, riwayat objek, serta potensi untuk rusak. Sementara itu, untuk penanganan terdapat konservasi preventif, konservasi kuratif, serta restorasi.
Berikut akan kita lihat satu per satu pokok-pokok tersebut.
Bahan Penyusun
Berkait dengan bahan penyusun, terdapat bahan yang memang rentan terhadap faktor luar, atau bahan itu sendiri memang rentan untuk meluruh kualitasnya. Sebagai contoh adalah kertas atau tekstil. Bahan ini sangat rentan terhadap faktor luar seperti kelembaban, panas, serta sinar, juga kertas yang mengandung asam, misalnya, akan rusak juga dengan sendirinya. Hal ini berbeda dengan bahan batu yang digunakan untuk membuat arca, yang lebih tahan terhadap berbagai faktor pengaruh.
Namun hal ini adalah relatif, artinya terhadap pengaruh yang berbeda, tingkat kerentanannya mungkin juga berbeda.
Riwayat Objek
Kondisi objek juga tergantung pada riwayat sebelum objek diterima oleh pengelola atau museum. Mungkin objek tersebut pernah digunakan intensif sehingga memang mengalami pelapukan dan kerusakan, pernah dilakukan perawatan, atau terpapar oleh fenomena lingkungan. Misalnya adalah keramik Tiongkok yang ditemukan dalam kapal karam. Air laut yang mengandung garam akan sangat berpengaruh terhadap kondisi objek yang mungkin kemudian masuk ke museum kita sebagai koleksi.
Potensi rusak
Begitu juga setelah memasuki museum atau dirawat sebagai warisan budaya atau cagar budaya. Semestinya benda di museum dirawat dengan baik karena hal tesebut salah satu tugas museum, namun kadang malah dapat menjadi rusak karena paparan terhadap aktivitas manusia mungkin lebih intensif daripada sebelumnya. Misalnya ketika dipajang dalam suatu pameran.
Tiga Lokus perawatan
Maka, perawatan objek warisan budaya atau cagar budaya, terutama di museum, terdapat pada tiga tempat, yaitu pada perpindahan dan penanganan, pada penyimpanan, serta pada tempat pemanfaatan (pameran).
Masing-masing memiliki kekhususan, seperti pada saat perpindahan karena objek bergerak, bertemu dengan objek dan orang yang menangani, maka perlu tata cara penanganan seperti cara membawa, cara membungkus, cara meletakkan.
Pada ruang penyimpanan, objek relatif tidak bergerak, sehingga penanganan lebih berfokus pada mengkondisikan lingkungan dan meletakkan barang agar tidak bertumpuk, stabil, dan mudah dicari. Pada pameran, objek akan bertemu dengan kebutuhan lain, yaitu pengunjung, yang mungkin memerlukan cahaya yang lebih terang serta udara yang lebih dingin. Objek juga ditata sedemikian rupa agar dapat dilihat dengan nyaman oleh pengunjung, namun mungkin tidak cocok untuk objek.
Tiga Jenis Konservasi
Secara umum, terdapat tiga jenis konservasi, atau dapat diringkas menjadi dua juga, yaitu Preventif, kuratif, dan restorasi. Kadang restorasi dianggap bagian dari kuratif, karena sama-sama melakukan perlakuan terhadap objek.
Konservasi preventif bersifat mencegah kerusakan, dilakukan terhadap keseluruhan daripada individu. Konservasi kuratif merupakan perlakuan terhadap suatu objek yang mengalami kerusakan, dan dilakukan penguatan agar tidak menambah kerusakan di kelak kemudian hari. Restorasi merupakan pengembalian kondisi objek, kadang menggunakan bahan-bahan tambahan. Di samping tidak mudah secara teknis, restorasi juga cukup rumit secara etis, artinya apakah suatu objek yang rusak perlu direstorasi atau seharusnya dibiarkan saja dan hanya dilakukan konsolidasi.
Sepuluh Penyebab Kerusakan
Terdapat sepuluh penyebab kerusakan yang diidentifikasi oleh para ahli konservasi museum, seperti CCI di Kanada. Hal ini kurang lebih sama dengan rumusan pada sistem lain misalnya yang dikembangkan oleh ICCROM. Kesepuluhnya adalah air, api, sinar atau cahaya, suhu (yang tidak tepat), kelembaban relatif (yang tidak tepat), kriminal, hama, kekuatan fisik, serta polutan.
- Air
Ruang basah, lembab, bencana (banjir, tsunami)
Koleksi berjamur dan lapuk, pewarna hilang/berubah.
- Api
Perubahan warna minor sampai kerusakan total, akibat panas api, jelaga
- Cahaya
Perubahan warna, menjadi kaku, mengalami pelapukan, dan perubahan secara kimia dan fisika
- Suhu
Suhu tidak sesuai (terlalu tinggi, terlalu rendah), fluktuasi suhu.
Perubahan bentuk fisik dan koleksi melemah, atau meleleh, organisme jamur dan serangga, perubahan kimia.
- Kelembaban relatif
Kelembaban relatif tidak sesuai, fluktuasi kelembaban relatif
Jamur, korosi, kerusakan mekanis (retak dsb)
- Kriminal
Pencurian, penggelapan, vandalisme
Hilang, rusak, musnah.
- Hama
serangga, hewan pengerat, burung, kelelawar, dan mikroorganisme
Rusak, musnah, hilang.
- Daya fisik
Benturan (impact), shock, getaran (vibration), tekanan (pressure) dan goresan (abrasion)
Pecah, perbahan bentuk, cacat
- Polutan
reaksi kimia dengan koleksi dan memberikan efek negatif pada koleksi
- Disosiasi
Sistem penyimpanan dan registrasi/dokumentasi yang berantakan
Hilangnya koleksi, hilangnya data, atau hilangnya kemampuan untuk mengasosiasikan koleksi dan data koleksi
Konservasi Preventif
Dalam perawatan warisan budaya/cagar budaya lebih berkait dengan konservasi preventif yang lebih mudah, lebih efektif, dan lebih murah. Konservasi preventif harus dilakukan oleh para ahli, misalnya para ahli konservasi dari BPCB.
Konservasi preventif ini dilakukan misalnya dengan melatih cara membawa. Jika hendak mengangkat dan memindah objek, maka perlu teknik-teknik tertentu yang mencegah terjadinya kerusakan.
Konservasi preventif ini juga dilakukan misalnya dengan menyediakan tempat penyimpanan yang baik dari sisi peralatan maupun penyimpanan, juga sistem registrasi yang baik. Barang tidak bertumpuk serta sistem registrasi yang jelas.
Lingkungan yang baik juga diperlukan agar objek tetap selamat dan aman. Jauh dari polusi, lingkungan dengan kelembaban tidak sesuai, dan sebagaiya.
Para ahli mengembangkan sistem enam lapis (ada yang mengembangkan menjadi tujuh lapis) pencegahan yang menjadi kulit dari suatu objek. Paling dekat adalah penyangga, kemudian lemari, ruang, bangunan, pekarangan, serta kawasan. Di setiap lapis perlu dilakukan tindakan tertentu untuk menanggulangi masalah konservasi tertentu.
Cara Sederhana
Cara-cara sederhana yang dapat dilakukan misalnya adalah menjaga kebersihan objek dan lingkungan, melindungi objek dari cahaya dan air, menjaga aliran udara agar kelembaban tinggi tidak tejradi, menjaga dari hama, menjaga keamanan, berlatih menangani (membawa) dengan baik, serta menjaga seluruh catatan dan dokumen terkait dengan objek atau koleksi.
Cara-cara itu misalnya dilakukan dengan menyapu lingkungan setiap hari. Peletakan objek tidak menempel pada dinding atau lantai, membuka jendela dan pintu, serta menutup atau melindungi objek yang sensitif sinar.
Kesalahan
Beberapa contoh kesalahan penanganan adalah melakukan dengan bahan yang salah, terutama untuk konservasi yang bersifat kuratif.
Contoh lain adalah membersihkan secara berlebihan, yang seakan menjadi baru dan terkadang menghilangkan banyak detil.
Prinsip Konservasi
Salah satu prinsip konservasi adalah riversibel, artinya setiap tindakan yang dilakukan terhadap objek mesti dapat dikembalikan seperti semula. Maka, ketimbang menggunakan lem alteco, bisa menggunakan lem yang terbuat dari tulang binatang, untuk kasus-kasus tertentu.
Terima kasih.
Sektiadi
- Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Latihan Badan Musyawarah Musea (Barahmus DIY), periode 2019-2023.
- Dosen pada Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM