Hormat kepada Moh. Amir Sutaarga
/
Hari ini, 18 Mei 2021, adalah Hari Museum Internasional yang dirayakan oleh ICOM dan anggota-anggotanya. Di tengah pandemi, tema perayaan juga nyrempet pandemi, yaitu “The Future of Museums: Recover and Reimagine”. Menurut ICOM, International Museum Day 2021 “invites museums, their professionals and communities to create, imagine and share new practices of (co-)creation of value, new business models for cultural institutions and innovative solutions for the social, economic and environmental challenges of the present.”
*
Mumpung kemarin (17 Mei) adalah Hari Buku Nasional, maka cukup tepat jika sekarang membicarakan satu buku terkait museum.
Satu buku museum terbaru saya miliki adalah “Moh. Amir Sutaarga, Bapak Permuseuman Indonesia”, karya Pak Nunus Supardi. Kebetulan saya mendapatkan bulan April yang lalu, atas kebaikan hati Mbak Nusi Lisabilla Estudiantin, pada sebuah acara di Jakarta. Saya lantas menyelesaikan membacanya dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Yogyakarta, di ruang tunggu Bandara Halim PK dan saat naik pesawat ATR.
Buku ini sangat penting, karena mendokumentasikan sejarah permuseuman di Indonesia. Saya hanya mengenal nama Moh. Amir Sutaarga dari beberapa buku terbitan Direktorat Museum atau Permuseuman. Buku ini membuat Pak Amir Sutaarga dapat dikenal lebih lanjut tentang pemikirannya di bidang permuseuman, selain mengetahui juga kehidupan pribadinya.
Beliau ini adalah direktur Lembaga Kebudayaan Indonesia menggantikan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat (sekarang menjadi Museum Nasional RI), kemudian menghasilkan beberapa buku museologi dan museografi yang sebagian pasti pernah dibaca oleh praktisi dan akademisi museum di Indonesia, dan terlibat dalam beberapa peristiwa museum di Indonesia. Sekarang sedang digalang dukungan agar beliau ditetapkan sebagai Bapak Permuseuman Indonesia.
Beliau ini ternyata juga penerjemah buku terkenal Perempuan di Titik Nol karya Nawal el Saadawi.
Penulisan buku-buku permuseuman perlu dilakukan, bukan hanya berkait dengan koleksi museum, tetapi juga para tokoh di belakang pengembangan museum di Indonesia, baik secara praktis/profesional atau secara akademis. Buku-buku itu akan dapat digunakan untuk mengungkap perjalanan museum di Indonesia.
Selain membuat penerbitan tentang tokoh, saya rasa penyelamatan arsip juga diperlukan. Para tokoh biasanya memiliki konsep, catatan, dokumen tentang hal-hal yang mereka pikirkan, lakukan, atau capai. Pak Amir, misalnya, saya dengar dari bedah buku tersebut yang dilakukan pagi ini–dan masih berlangsung saat ini, memiliki naskah draf disertasi dan naskah draf rancangan undang-undang museum. Catatan-catatan semacam itu selain menjadi pendukung bagi cerita sang tokoh, juga menjadi bagian dari perkembangan museum/museologi. [z]