Pecel Lele
\
Apa masakan khas Indonesia? Apakah rendang? Nasi goreng? Sate? Tempe? Mungkin kandidat masakan khas Indonesia berikutnya adalah pecel lele. Sore tadi di televisi berbayar Asian Food Network disajikan resep “Indonesian Style Fried Catfish with Green Chillies”, kurang lebih adalah “pecel lele lombok ijo a la Indonesia”.
Makanan, atau masakan, satu ini memang sangat populer. Di kampung-kampung, di pinggir jalan, cukup khas terdapat tenda dengan kain-rentang yang khas itu. Rasanya menjamurnya warung pecel lele mulai sekitar tahun 1990-an awal, setidaknya di Yogyakarta. Warung itu berkembang bersama dengan penyetan, dan mulai menggantikan atau mendampingi warung soto Lamongan yang waktu itu juga menjamur. Ya, pecel lele ini juga dikembangkan para perantau dari Lamongan, Jawa Timur.
Biasanya mereka menjual pecel lele bersama dengan bebek goreng, atau ayam goreng. Beberapa warung tenda juga menyediakan burung merpati goreng, juga tahu-tempe dan terong.
Menjadi populer, mungkin karena makanan ini harganya cukup murah. Saat ini di warung-warung dekat rumah harga pecel lele saya rasa hanya sepuluh ribu rupiah,1 lengkap dengan sambal dan lalap. Untuk nasi, perlu tambahan sekitar dua ribu rupiah. Jadi, dengan sejumlah uang standar untuk sekali makan di warung itu, kita sudah mendapatkan makanan dengan protein hewani, dan tentu dengan nasinya yang mesti ada di menu kita.
Saking populer dan menjamurnya warung pecel lele, kuliner satu ini menjadi andalan. Para pengelola rumah tangga yang lagi malas memasak, bisa dengan mudah bilang “malam ini pecel lele saja ya…” dan segera meluncur ke warung tenda terdekat. Atau menggunakan aplikasi whatsapp, memesan kepada warung langganannya.2
**
Nama “pecel lele” pada awalnya agak membingungkan bagi orang Yogya. Mana pecelnya? Sebelumnya, pecel dikenal sebagai makanan dengan unsur sayuran rebus dan dengan saus, atau bumbu, atau sambel, yang menggunakan kacang sebagai bahan dominan. Namun, “salad sayuran berbumbu kacang ini” berbeda dari gado-gado (yang bumbunya lebih “mild” dan perlengkapan yang lebih “advanced“, beda pula dari lotek, yang lebih segar dan aroma bawang putih lebih menyengat dari bumbu kacang yang biasanya diulek “on site“.
Malah rujak cingur bagi saya “lebih pecel” daripada pecel lele … Di sebelah barat kampung Ngasem di Yogyakarta terdapat satu warung yang menjual gado-gado, lotek, dan rujak cingur, menandakan makanan ini berasal dari genre yang sama …
Lama-kelamaan nama pecel lele akrab juga di telinga, meski jika pesan makanan ini ke penjual kemungkinan akan digunakan istilah “lele goreng” (seperti acara di televisi AFN tadi) atau “lele bakar” karena di beberapa warung tenda kita bisa memesan dalam bentuk bakar, bukan goreng (meski awalnya digoreng juga). Atau hanya berorder “Mas, lele satu, dibungkus.”
**
Dagadu, produsen cendera mata khas Yogya yang terkenal dengan kaos plesetannya itu, pernah merekam keberadaan pecel lele ini pada masa awal dulu dengan desain kaos “Pecel Lele Lupa Lalap”. Memang, pecel lele dari warung selalu ditemani lalap, yang mungkin hanya sederhana seperti beberapa iris mentimun, kol, dan beberapa tangkai kemangi. Mungkin biar absah sebagai pecel yang mulanya didominasi oleh sayuran.
Dan lalap tersebut gratis, artinya sudah termasuk ke dalam harga paket pecel lele.
**
Bagi yang lagi mengudap lele goreng atawa bakar di warung tenda pinggir jalan, saya ucap “Bon appétit ….” Jangan lupa, yang terdapat di mangkuk plastik itu adalah air kobokan, bukan air minum. [z]
Catatan Kaki