Radio
\
Mas Petruk ini oldschool, zadoel.
Ketika orang lain sudah mendengar siaran radio streaming lewat Internet, dia masih mendengarkan radio kotak hitam itu, yang ada antenanya, dan berbahan bakar, eh bersumber daya baterai. Memang, radio kadang lebih mengasyikkan, dapat disambi-sambi. Sandiwara radio juga lebih seru dari pada film TV. Ingat zaman dulu ada sandiwara radio “Trinil” yang diproduksi oleh salah satu radio di Magelang. Wuih. Mungkin penggemarnya yang nggathok seperti penonton sinetron “Tersanjung” kemarin-kemarin. Atau yang baru-baru ini, “Ikatan Cinta”.
Baca juga:
Namun, sudah beberapa tahun ini mas Petruk resah dengan radionya. Perasaan benda itu sudah tidak menghiburnya seperti dulu. Banyak kresek-kreseknya. Wayang kulit yang biasanya didengarkan sedalu natas, tidak lagi terdengar. “Kelihatannya rusak radio iki,” batin Mas Petruk.
Maka ketika keponakannya, Dewi Endang Nalawati yang anak Gareng itu datang beserta pacarnya yang guru STM eh SMK, Mas Petruk girang. Segera ia melaporkan perihal radionya yang hanya kemresek itu meski batu baterainya sudah diganti baru. Calon menantu Gareng itu pun segera memeriksa radio hitam dua band itu.
Dicopotnya dua baterai biru putih ukuran D itu, atau baterai besar, dari kompartemen di bagian belakang radio. Per pegas pengencang baterai dan pelat konektor positif digosok-gosoknya. Baterai dikembalikan lagi, kenop volume diputar. Begitu pula, kenop pencari gelombang diputar-putar untuk mencari studio yang sedang siaran. Tetapi, tidak banyak berhasil masih kresek-kresek juga.
Curiga dia dengan radionya, dilihat dengan seksama panil dengan jarum yang menunjukkan gelombang itu, tiba-tiba dia berseru, “Wuih, Paman Petruk, ini radio masih AM, sekarang sudah jarang studio yang masih siaran… sudah pada pindah ke FM. Beli radio baru saja, yang ada FM-ya… ” [z]