Tamansari Aneka Faset
\
Tamansari, cagar budaya di dalam benteng (Jeron Beteng) Yogyakarta ini sudah dikenal luas. Yang kurang dikenal mungkin adalah bahwa terdapat banyak faset di dalam objek tersebut dan selalu dilihat sebagai tinggalan bersejarah saja. Beberapa di antara faset adalah sebagai berikut.
Faset sejarah
Tamansari merupakan bangunan yang dinisbahkan pembangunannya kepada Sultan Hamengkubuwono I. Beberapa cerita menyatakan rincian orang yang melaksanakan pembangunannya, cara membangunnya (misalnya dengan mengirim orang ke Batavia untuk melihat contoh bangunan). Permulaan pembangunan tersebut ditandai dengan candrasengkala Catur Naga Rasa Tunggal (1684 J).
Faset sejarah Tamansari ini berlapis-lapis, masing-masing terkait dengan berbagai peristiwa yang pernah terjadi di kompleks ini. Selain lapis pembangunan, juga lapis penggunaan oleh misalnya para sultan yang pernah tinggal di Tamansari, gempa-gempa yang terjadi, juga penghunian oleh penduduk seperti terlihat hingga sekarang.
Faset fungsi
Beberapa fungsi diajukan atas kenampakan dan historisitas kompleks bangunan ini, misalnya adalah untuk pesanggrahan (tinggal sementara), untuk beribadah (sumur gemuling dengan ceruk di sisi barat serupa mihrab masjid), untuk pertahanan (tembok dan lorong), dan untuk rekreasi (kolam, kebun). Beberapa bagian kompleks ini digunakan untuk menanam tetumbuhan yang dapat dikonsumsi atau sekedar bebungaan. Beberapa fungsi terkait dengan cara penggunaan, misalnya aksesibilitas (jalan utama, hubungan dengan kraton, jalan-jalan lokal) dan penggunaan bangunan-bangunan tertentu.
Faset bentuk
Kompleks Tamansari dapat disaksikan bentuk awalnya dengan membuat rekonstruksi berdasar tinggalan tersisa dan dokumen yang ada. Kompleks ini memanjang dari sisi timur keraton hingga barat, dengan berbagai kolam yang tampak mendominasi. Bangunan-bangunan memiliki ciri khas yang berbeda dari bangunan pada umumnya di masa itu.
Faset budaya
Kompleks Tamansari merupakan tinggalan budaya Jawa. Keraton di Jawa (Tasik Ardi di Banten, Sunyaragi di Cirebon), atau bahkan di Indonesia (Taman Ghairah di Aceh, Tamansare di Sumenep, Taman Narmada di Lombok), umumnya memiliki taman.
Berbagai simbol yang biasa digunakan dalam tradisi Jawa terdapat pada bangunan-bangunan Tamansari juga penataannya. Simbolisme perpaduan air dan gunung terlihat jelas seperti pada dua gapura yang ada dan pada Pulo Cemethi-Segaran.
Faset kerapuhan
Bangunan Tamansari tidak semua sampai dengan utuh kepada generasi sekarang. Bangunan-bangunan yang sekarang ada umumnya berada dalam kondisi rapuh, runtuh, atau puing. Beberapa memang telah direhabilitasi, namun bangunan tua dari akhir abad ke-18 ini tetap menyisakan bagian-bagian yang terlihat telah runtuh.
Kondisi rapuh cukup mengkhawatirkan untuk keselamatan publik yang berada di sekitarnya, misalnya penghuni dan pengunjung. Kondisi itu juga berbahaya bagi keselamatan bangunan Tamansari itu sendiri. Namun, kondisi itu kelihatannya tidak bermasalah bagi sebagian masyarakat yang senang menggunakan Tamansari untuk foto pengisi media sosial atau foto pranikah. Mereka malah senang dengan latar belakang bangunan kuno dengan segenap retakan dan puing.
Faset pelestarian
Upaya-upaya pelestarian dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat dan tentu kerja sama di antara berbagai pihak sebagai pemangku kepentingan Tamansari. Berbagai upaya pelestarian terlihat jejaknya, misalnya yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang sempat memulihkan beberapa bagian utama, kemudian oleh Dinas Kebudayaan DIY, dan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY.
Faset sosial
Tamansari dihuni oleh masyarakat setelah lama tidak digunakan lagi sebagai pesanggrahan oleh kraton Yogyakarta. Hingga sekarang, Tamansari cukup padat dihuni. Mereka tinggal dan berusaha di kawasan tersebut. Akhirnya terdapatlah keseharian yang khas di kampung Taman. Mereka membangun pemukiman yang padat di sekitar objek-objek cagar budaya, membuat batik lukis yang khas, dan aneka kerajinan lain. Meski di kampung tua dan di antara kekunoan cagar budaya, kampung ini juga merupakan kampung cyber.
Faset pariwisata
Tamansari telah bergeser dari pesanggrahan untuk keluarga keraton menjadi daya tarik wisata untuk publik. Terdapat pengaturan di kawasan itu, termasuk perbaikan jalan agar wisatawan mudah mengakses bagian-bagian yang ‘dipertunjukkan’, pengaturan alur kunjungan, serta aspek pengelolaan lain. [z]
*versi awal naskah ini disampaikan secara lisan pada FGD Branding Tamansari, JTTC, 27 Agustus 2021.