Bangunan Museum Minimal
\
Museum harus memiliki bangunan, secara tradisional demikian. Dalam sejarah, museum merupakan bangunan tempat meletakkan objek, jika kita ingat dengan awal mula istilah museum adalah tempat meletakkan persembahan untuk para dewi muse, anak-anak Zeus yang menjadi pelindung seni (dan pengetahuan).
Museum kemudian dipilih untuk menamai lembaga yang mengundang publik untuk melihat koleksi. Dengan pengertian bahwa koleksi (portabel) disimpan pada bangunan, maka museum dan pameran tidak dapat dilepaskan dari bangunan.
Memang saat ini muncul tipe baru yang tidak memerlukan bangunan untuk pameran, yaitu open-air museum, yang memerlukan lahan untuk menyimpan sekaligus memamerkan objek yang dikumpulkan dari berbagai tempat. Sebagai contoh adalah Taman Mini Indonesia Indah, yang saat ini museumnya adalah masing-masing bangunan anjungan, tetapi secara keseluruhan kumpulan bangunan itu juga dapat dianggap sebagai museum karena dikumpulkan dari berbagai tempat di Indonesia.
Kredo-kredo baru bermunculan pada berbagai aras, misalnya museum without walls, museum without building, yang mengarah pada diskusi mengenai keberadaan atau peniadaan bangunan museum, secara fisik maupun konseptual.
Setelah sekian lama perkembangan museum, sekarang museum menjadi memerlukan banyak bangunan. Dari borang akreditasi museum yang dikeluarkan oleh Ditjen Kebudayaan, terdapat belasan jenis ruang pada bagian “Tanah dan Bangunan”. Borang tersebut membagi dua, yaitu ruang pokok dan ruang penunjang (meski yang disebut di bagian borang tersebut tidak semua merupakan ruang).
Cukup sulit untuk rata-rata museum di Indonesia memenuhi itu semua, atau sebagian untuk sekedar mendapatkan akreditasi.
Kembali ke kebutuhan ruang di museum.
Sesuai dengan khittah museum, maka ruang paling utama adalah ruang pamer. Tanpa ruang pamer, tidak ada museum. Hal ini berbeda misalnya dengan arsip atau perpustakaan.
Setelah itu, baru ruang untuk menyiapkan pameran tersebut (back office museum) dan ruang untuk melayani pengunjung (fasilitas publik). Mana yang duluan? Agak sulit menentukan. Akan tetapi, karena museum adalah fasilitas publik, “terbuka bagi umum” menurut rumusan ICOM, maka kita perlu menyiapkan agar publik dapat menikmati pameran museum kita. Pintu masuk, halaman yang mengundang, tempat parkir, aksesibilitas, perlu disiapkan agar museum kita memiliki pengunjung. Kemudian, perlu fasilitas untuk museum menyambut pengunjung, seperti tempat informasi, tempat memperoleh tiket, mendapatkan pemanduan, yang selalu siap jika ada kunjungan.
Kemudian menyusul fasilitas lain, hingga genap 21 ruang untuk dapat mencapai Akreditasi A.
Akreditas museum sebenarnya mensyaratkan minimal (untuk Tipe C) adalah ruang pamer dan ruang administrasi. Akan tetapi, dalam hal ini kita dapat bersiasat.
Beberapa fasilitas dapat kita dapatkan dari kawasan. Misalnya, ketiadaan tempat parkir pengunjung, maka dapat menggunakan tempat parkir di sekitarnya. Ketiadaan ruang untuk aktivitas pegawai museum, dapat menggunakan fasilitas lain di sekitarnya. Bahkan, untuk penyimpanan koleksi dan konservasi, juga dapat menggunakan fasilitas lain, tidak mesti menjadi satu dengan bangunan museum.
Ketiadaan storage, misalnya, dapat menggunakan bangunan lain yang kebetulan tidak dipakai. Tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai storage objek koleksi museum. Beberapa museum tidak punya storage karena objek yang dimiliki ya hanya yang ada di ruang pamer. Jika ini yang diambil, maka perlu strategi tata pamer (yang menumpuk semua objek di ruang pamer), termasuk strategi pengelolaan koleksi (dengan penyusutan objek dengan membuat kajian dan prioritas).
Kemudian, seperti apa bangunan yang harus dibuat? Bangunan museum memiliki beberapa fungsi.
Pertama, bangunan menjadi tempat penyelenggaraan aktivitas. Khusus untuk pameran, maka perlu diperhatikan bahwa pameran akan ditata dengan cara tertentu, akan dikunjungi orang, serta akan berisi objek.
Dari sisi ini, bangunan dengan ruang yang “generik” akan lebih memudahkan. Nanti pameran akan mengubah ruang sesuai dengan alur cerita dan alur pengunjung yang dirancang. Panil-panil temporer akan membantu. Jika bangunan sudah diset dengan ruang yang didedikasikan pada alur tertentu, kemungkinan akan menyulitkan jika ada perubahan tata pamer.
Secara garis besar memang perlu dirancang tentang bagaimana akses untuk pengunjung dan objek, yaitu cara mereka keluar masuk dan cara objek dikeluarkan dan dimasukkan. Pintu yang besar, misalnya. Atau pintu belakang perlu disiapkan untuk keperluan internal seperti penyiapan pameran, perawatan. Pintu-pintu darurat juga diperlukan.
Sebagai tempat aktivitas, maka sesuai dengan perkembangan, bangunan museum sekarang umumnya melayani multiaktivitas. Bukan hanya ruang pamer, administrasi, dan konservasi yang ada, tetapi juga ruang-ruang fasilitas untuk publik lain seperti restoran.
Bangunan juga menjadi pelindung objek. Oleh karena itu, bangunan harus membuat objek aman (tidak hilang) dan selamat (tidak rusak). Bangunan perlu kokoh dan melindungi objek. Tidak becek, tidak lembab (oleh karena itu perlu ventilasi yang baik), tidak bocor, tidak gampang dibobol maling, tidak ada tempat-tempat untuk bersembunyi maling. Bangunan juga dibuat agar pemindahan objek berjalan dengan lancar dan mudah.
Bangunan juga menjadi bagian dari pembentuk rona lingkungan. Mestinya setiap pembuat bangunan akan bertanggung jawab pada lingkungannya dengan tidak mengganggu rona lingkungan tersebut. Beberapa bangunan memang dibuat berbeda karena memang ditujukan untuk mencolok di lingkungan itu.
Ini memang kontradiktif dengan hal berikut: bangunan berfungsi sebagai alat komunikasi. Setidaknya, bangunan akan mengundang publik untuk datang karena terlihat secara visual menarik, atau karena tidak sengaja membuat orang tertarik untuk datang.
Masalah berikutnya adalah: ruang terbatas, koleksi terlalu banyak.
Jika memilih “ruang museum tumbuh”, maka perlu strategi pameran. Tata pamer perlu disusun dengan cermat mulai dari pembuatan storyline: apa temanya, objek apa yang diperlukan, bagaimana alur ceritanya, dan bagaimana teksnya. Apakah semua akan ditampilkan secara fisik atau adakah yang dapat “dilipat” dengan foto atau perangkat digital. Objek sisanya: letakkan di tempat lain. Misalnya carikan gudang. Jika nanti museum dikembangkan ruang pamernya, mungkin objek yang disimpan itu dapat dikeluarkan. Objek yang tidak tertampung di ruang pamer juga dapat dicarikan ruang pamer yang lain: misalnya dipinjamkan ke museum lain atau dipamerkan di ruang yang tersedia lembaga serumpun. Tentu, yang cocok dengan tema tempat barunya itu. [z]
- Versi awal disampaikan pada FGD Pembangunan Museum Wanagama, Fakultas Kehutanan UGM, 13 Juni 2022.
- Baca juga: Arsitektur Museum