Menunggang Rempah
\
Satu pameran menarik dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY, sebelum menjadi Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) yang mungkin akan segera terjadi beberapa hari mendatang. Pameran ini diselenggarakan di kompleks Teras Malioboro I, tepatnya di Gedung Cenderawasih yang terletak di sisi selatan akses ke kompleks relokasi pedagang kaki lima itu, tepat di tepi Jalan Malioboro.
Bertajuk “Menunggang Gelombang: Sejarah Arung Samudra dan Warisan Budaya Rempah Nusantara” pameran ini berbasis pada dokumentasi sejarah yang dibaca oleh kolega sejarawan FIB UGM, Mas Sri Margana. Menurutnya, pameran terbagi menjadi lima bagian. Saya lupa tepatnya urutan kelima bagian itu sehingga berikut ini bagian-bagian dan urutan yang wangun menurut saya. Bagian pertama menceritakan berbagai kemampuan masyarakat Jawa di masa lampau jauh sebelum kedatangan orang Eropa, bahkan terdapat laporan yang menyatakan bahwa orang-orang Jawalah yang mengajari orang Cina untuk membuat jung yang besar.
Bagian kedua mengisahkan kapal-kapal buatan Jawa, yaitu kapal dari relief Candi Borobudur, dan kapal Madura. Untuk kapal Madura ini, seniman Tita Rubi merekonstruksinya dan menjadikan seni instalasi, dengan menambahkan jubah pala berlapis emas di bagian atas kapal.
Bagian ketiga adalah Mataram, atau Yogyakarta, sebagai kota maritim. Meski selama ini dianggap Yogyakarta (dan Mataram secara umum) adalah kerajaan pedalaman, tetapi banyak fitur yang menandakan unsur maritim di kota. Kata “alun-alun”, misalnya, istilah yang bersumber pada khazanah maritim.
Bagian keempat adalah kronologi upaya kerajaan Mataram dalam menguasai pantai utara Jawa. Menurut Mas Margana, upaya tersebut ditujukan untuk mengontrol perdagangan rempah yang melintasi laut Jawa. Pada bagian ini juga ditampilkan beberapa artefak yang terkait dengan rempah.
Bagian kelima adalah lapak UMKM terkait rempah. Meski sejarah rempah selalu dikaitkan dengan orang Eropa, namun orang Indonesia juga menggunakan rempah hingga sekarang. UMKM jejamuan dan kudapan berempah ini membuktikan bahwa rempah masih ada hingga sekarang di kuliner kita.
***
Di luar tema yang menarik, yang berupaya mendekonstruksi gagasan kita tentang sejarah rempah di Indonesia, atau di dunia, dan mengemukakan peran orang-orang Indonesia sendiri, bagi saya yang menjadi salah satu keunggulan pameran ini adalah lokasinya, di tepi Malioboro. Tempat yang dipilih sebagai lokasi pameran cukup mengejutkan. Saya berharap akan melihat pameran di bekas Gedung Bioskop Indra yang menjadi Teras Malioboro I itu, tetapi ternyata salah. Pameran itu digelar di gedung tua bekas entah toko atau restoran yang bernama Cendrawasih.
Malioboro dahulu dikenal dengan pusat perkembangan kesenian di Yogyakarta sebelum tenggelam dalam riuhnya pada pedagang cendera mata yang menyesaki dua lorong trotoar di kiri-kanan jalan. Setelah dilakukan relokasi atas para pedagang kaki lima, terciptalah kembali ruang-ruang yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan di luar bisnis eceran itu. Pameran BPCB ini kemudian mendapat lokasi yang sangat bagus dan dapat menjadi salah momentum bagi Malioboro untuk menentukan arahnya.
Ayo nonton, masih ditunggu hingga 21 Juni 2022. [z]