Prasasti Pengingat Gempa Bumi
\
Mungkin generasi sekarang mengenal prasasti sebagai batu marmer bertulis yang ditandatangani pejabat untuk meresmikan suatu bangunan. Dalam arkeologi, prasasti digunakan untuk menyebut benda-benda bertulis.
Umumnya, prasasti sebagai data arkeologi (atau tepatnya adalah epigrafi) di Indonesia berwujud lempengan logam dengan tulisan-tulisan di atasnya. Prasasti juga dibuat dari batu, baik berbentuk datar-persegi, bulat seperti bentuk batu asalnya, atau bentuk-bentuk lain. Di masa Jawa Kuno, prasasti sering kali berisi teks untuk menyatakan penetapan suatu daerah sebagai sima, tanah perdikan.
Konotasi istilah prasasti dalam arkeologi atau epigrafi lebih condong ke objek fisik, seperti lempengan batu bertulis. Untuk menyebut tulisan (pada benda tertentu seperti tiang bangunan) banyak digunakan istilah inskripsi, atau tulisan, pertulisan.
Tradisi membuat tulisan pada prasasti juga muncul pada masa pengaruh Islam, misalnya pada Kesultanan Yogyakarta. Salah satunya adalah prasasti-prasasti pada serambi masjid Gedhe Kauman.
Prasasti-prasasti tersebut sebagian menyebut gempa bumi tahun 1867 yang menghancurkan serambi masjid, sehingga sultan kemudian membangun kembali serambi tersebut. Prasasti tersebut berisi peristiwa, latar belakang, waktu. Tidak ada tanda tangan sultan seperti prasasti peresmian proyek di masa sekarang.
Dengan huruf arab dan huruf jawa, tentu dengan bahasa arab dan jawa pula, kedua prasasti di serambi tersebut tidak mudah dipahami oleh pengunjung. Akan tetapi, esensi bahwa ada pengingatan di dalam prasasti tersebut tidak hilang karena prasasti menjadi dokumen tentang adanya gempa bumi yang dahsyat. [z]
- Baca juga: Monumen