Burjo
\
Kata “burjo” kelihatannya merupakan salah satu akronim yang berhasil. Alih-alih menyebutnya bubur kacang hijau, atau dalam bahasa Jawa disebut sebagai bubur kacang ijo, rasanya banyak yang menyebut makanan ini dengan istilah burjo, yang diucap sebagai “borjo”.
Meski suka burjo, tetapi saya tidak mengkonsumsi secara rutin. Akhir-akhir ini beberapa kali ke warung burjo di dekat rumah mertua, dan oke-oke saja. Saya pikir bisnis burjo ya oke-oke saja sampai sekitar sebulan yang lalu seorang kolega bilang: sekarang susah cari burjo. Warung burjo yang jelas-jelas ditulis burjo pada papan namanya sudah tidak menjual burjo.
Woit. Tenane?
Konfirmasi datang minggu lalu di Koran Kompas. Konon warung burjo sudah banyak yang ganti komoditas seiring dengan sebutan warmindo. Mi instan menjadi dagangan andalan.
Mungkin perlu membuat museum warung burjo, jika memang di ambang kepunahan.
***
Di Jogja, dulu awal tahun 90-an saya beberapa kali mampir warung burjo di utara MAN 1, di sebelah barat perempatan Mirota. Sederet dengan permak jins terkenal itu terdapat warung burjo. Pertengahan atau akhir 90-an sempat beberapa kali ke warung serupa di Jalan Kaliurang, sekitar KM 5 atau di utara selokan. Warung-warung itu buka 24 jam.
Mengkonsumsi burjo dengan agak rutin sebenarnya saat kos di Jakarta. Kira-kira tiga hari sekali saya mampir warung burjo di dekat rumah S.K. Trimurti untuk memenuhi kebutuhan gizi yang menjadi tidak jelas karena makan tidak jelas. Saya hanya tahu beberapa warung yang cocok di perut dan kantong sehingga harus menggilirnya.
***
Di rumah, dulu, selain burjo buatan ibu, kami kadang membeli burjo dari pedagang dengan gerobak, yang kalo tak salah namanya Barji. Jadi, tetangga saya Pak Barji jual burjo. [z]