Menghidupkan yang mati di living museum
\
Tetiba ada banyak “living museum” di Yogyakarta. Minggu ini sepertinya bertambah sebelas, jika setiap kemantren di Kota ini membuat event yang disebut living museum dalam rangka 11 tahun Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Selain itu, istilah ini digunakan sejak sekitar dua puluh tahun yang lalu saat dideklarasikan “Kotagede Living Museum”.
***
Istilah “living museum” mungkin digunakan dalam kerangka kekhawatiran terhadap “museum konvensional” yang cenderung mematikan suatu bentuk budaya menjadi artefak semata, tanpa memperhatikan adanya orang atau kelompok orang yang menggunakannya.
Beberapa literatur menyatakan bahwa living museum menyediakan pengalaman yang interaktif bagi pengunjung dengan berpartisipasi pada situasi yang disediakan, baik sejarah, lingkungan, atau budaya. Peristiwa di masa lampau diciptakan kembali di museum dengan menghadirkan orang-orang yang mengalami untuk menyampaikan narasinya kepada pengunjung melalui cerita maupun penampilan.
Living museum menampilkan narasi dengan menghidupkan objek-objek museum. Mereka merekonstruksi peristiwa, cara hidup, dengan menghadirkan orang-orang, petugas, untuk bercerita dan berinteraksi dengan pengunjung. Mereka mungkin adalah para pelaku (pelaku peristiwa sejarah, pelaku unsur budaya), atau aktor yang didandani seperti yang terjadi pada masa lampau. Mereka bercerita, memperagakan suatu tindakan, hingga mengajak pengunjung untuk terlibat.
Dengan living museum, aspek intangible lebih terasa menonjol, meski umumnya living museum tetap bertumpu pada objek tangible, misalnya menggunakan bangunan bersejarah untuk yang dilestarikan sebagai setting. Sebagai contoh adalah bekas pabrik yang dijadikan museum, dan dibuatlah aktor-aktor yang berperan seperti disebut di atas.
***
Dalam praktik di Yogyakarta yang sekarang dapat dilihat (Living Museum Kotagede dan berbagai living museum untuk perayaan Undang-undang tadi), lebih berfokus pada kehidupan keseharian masyarakat yang khas, yang sebenarnya masih berlangsung. Upacara, makanan, kesenian, arsitektur, juga sejarah dan mitos menjadi bagian dari living museum yang diselenggarakan. Di Kotagede sudah tersedia gedung museum yang disebut sebagia “Intro Living Museum”, sebagai pengantar, atau mungkin visitor center, interpretation center, bagi kunjungan ke Kotagede. Kecenderungan museum semacam ini adalah untuk menyampaikan informasi dan pengalaman kepada pengunjung yang dilakukan sebanyak mungkin oleh penduduk sendiri. Museum semacam ini cenderung beririsan dengan ekomuseum, yang terkait dengan identitas setempat dan partisipasi komunitas.