Museum Era Sosmed
\
Pokok-pokok materi disampaikan pada Temu Publik Museum Song Terus, 26 Oktober 2023, di Punung, Pacitan.
Media sosial adalah fenomena yang belum begitu lama, muncul baru tahun 1997. Tahun kemarin, pengguna medsos konon telah mencapai 4,7 milyar orang–sementara penduduk bumi berjumlah 8 milyar.
Perkembangan ini didukung oleh kemajuan Internet dan smartphone yang berkolaborasi, dan tentu akses masyarakat kepada dua hal tersebut. Saat ini nyaris setiap orang memiliki smartphone.
Museum menggunakan peluang ini untuk mendiseminasi pengetahuan yang dimiliki, juga untuk kehumasan dan untuk pemasaran — jika dapat disebut begitu. Dalam hal diseminasi pengetahuan, sungguh menarik mencermati fenomena bahwa saat Pandemi yang baru lalu museum-museum menjadi sangat aktif di media sosial terutama dalam membagikan pengetahuan yang mereka miliki.
- Baca juga: Wabah dan Wisata Museum
Selain itu, keberadaan dan perkembangan media sosial membuat museum menjadi partisipatoris dan inklusif. Orientasi kepada publik menjadi lebih nyata daripada sekedar jargon semacam “museum sekarang berfokus pada masyarakat bukan lagi pada objek”.
Dalam hal partisipatoris, hal ini adalah kebiasaan milenial, yang senang memberi komentar atau rating sebagai bentuk partisipasi. Mereka juga mengandalkan komentar atau rating tersebut misalnya jika ingin membeli sesuatu.
- Baca juga: Museum Virtual untuk Generasi Milenial
Tidak mudah mendayagunakan media sosial di lingkungan museum. Perlu SDM yang cukup dan handal untuk melakukannya, membuat unggahan dan melakukan berbagai teknik untuk riset kinerja dan “pemasaran” digital. Membuat unggahan rutin saja kadang merepotkan museum karena banyak museum yang memiliki keterbatasan SDM.
Di samping itu, untuk dapat membuat museum lebih menarik dengan keberadaan media digital perlu riset yang nantinya dapat diunggah sebagai materi edukasi dan hiburan. Untuk keperluan itu memang diperlukan kegiatan riset yang akan tergantung pada SDM dan sarana-prasarana riset.
Tantangan lain adalah menjaga agar media sosial tetap bersifat sosial, yaitu menjalin hubungan. Media sosial mendapat namanya karena menjadi sarana bersosialisasi, berhubungan antaranggota (masyarakat). Untuk menjaga “marwah” itu, museum tidak perlu terlalu serius dalam setiap unggahannya. Beragam cara yang menyenangkan dapat digunakan untuk mengemas misi edukatif dari museum.
Namun, sering pengelola museum yang berkesempatan mengelaborasi media sosial jatuh kepada keperluan menyenangkan pengunjung dengan kamera smartphone mereka. Spot-spot foto dibuat dengan minim muatan edukasi yang menjadi museum. Lembaga semacam ini kemudian jatuh kepada wahana hiburan yang harus berkompetisi dengan sarana hiburan lain di dekatnya, seperti mal perbelanjaan atau juga “objek wisata digital”. [z]