Pacul
\
Seri Perpanjangan Pengalaman “Patembaya”
Satu cangkul kayu ditampilkan dalam pameran “Patembaya”, 27 September sd 1 Oktober 2023 di JCM, Yogyakarta. Cangkul ini koleksi dari Museum Tani Jawa Indonesia, yang bangunannya berada di pinggir sawah Dusun Candran, di kawasan Imogiri.
Cangkul dalam bahasa Jawa disebut pacul.
Dalam budaya berbahasa Jawa terdapat kerata basa, atau dalam istilah linguistik disebut bakronim. Beberapa kata dianggap berasal dari kata yang lebih panjang. Gedhang, misalnya, merupakan keratabasa dari digeget bar madhang, atau digigit setelah makan.
Gedhang berarti pisang. Entah kapan pula muncul kebiasaan mengkonsumsi pisang setelah makan (nasi) di Jawa seperti dalam rumus empat sehat itu.
Tentu keratabasa tidak dapat digunakan untuk melacak asal-usul suatu kata, karena kepanjangannya justru muncul kemudian. Oleh karena itu, muncul sebutan bakronim, backronym, kebalikan (antonim) dari akronim.
Kata pacul juga memiliki keratabasa, malah tidak hanya satu. Salah satu keratabasa-nya adalah “papat ora kena ucul“, yaitu empat hal yang tidak boleh terlepas. Empat bagian dari cangkul tidak boleh terlepas agar dapat digunakan. Masing-masing bagian juga memiliki makna filosofis terkait dengan istilah yang digunakan, dan keempat makna itu harus dipegang secara utuh, tidak boleh terlepas satu-satu.
Keratabasa kedua adalah “ngipatke sing muncul“, artinya menghilangkan yang muncul, yaitu kesombongan. Orang (Jawa) harus menghilangkan sifat kesombongan yang muncul.
Mungkin terdapat lebih banyak lagi keratabasa dari satu istilah tersebubt, yaitu pacul. Keratabasa terseubt mungkin bermakna filosofis, tetapi dapat juga lebih bersifat humoris seperti kasus gedhang tadi.