Bulayak a.k.a. Lontong
\
Nasi sebagai makanan pokok memiliki banyak bentuk. Selain nasi ‘curah’ sebagaimana kita temukan dari ketel atau pun rice cooker, selama tidak kempel alias lengket padat menyatu, kita juga dapat menemukan dalam bentuk ketupat–kupat dalam bahasa Jawa, menghemat dua huruf–dan lontong.
Lainnya, mungkin nasi (dalam) bumbung yang memang dimasak dalam bumbung bambu, atau meniran–yang terakhir ini dibungkus daun pisang dengan teknik tum, namun nasi terbuat dari butiran beras yang remuk ini diberi santan.
Jika lontong dibungkus daun pisang, di Lombok terdapat bulayak yan gdibungkus dengan lilitan daun enau yang muda. Daun aren melilit seperti clorot di Purworejo, namun ini berukuran sama dari ujung ke ujung.
Di kawasan wisata Suranadi, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, bulayak yang disajikan untuk menemani sate sapi itu berukuran diameter barang dua centi. Karena ukuran yang kecil itu maka rasa daun akan terasa hingga ke bagian dalam nasi.
Eh, nasi bulayak ini liat seperti ketupat, bukan mawur seperti arem-arem.
Saya pikir ukuran bukan masalah. Akan tetapi, seorang pembeli yang duduk di sudut salah satu warung di Suranadi itu senyum-senyum mendengar keheranan kami dengan rasa dan ukuran bulayak, dan memberi saya bulayak berukuran besar, barang empat centimeter diameter. “Ini saya bikin sendiri.”
Mungkin ada versi warung dan versi rumah. Dua-duanya enak. [z]