Makan dan rice bowl
\
Saya pesan makan yang disebut rice bowl pada salah satu restoran yang baru dibuka sekitar dua bulan yang lalu. “Rice Bowl Sambal Matah” saya pilih karena saya perlu nasi, dan makanan itu yang paling mahal di restoran untuk anak muda itu. Makanan ini seharga tiga belasan ribu, sementara makanan lain sepertinya di bawah sepuluh ribu. Dengan harga itu saya pikir pasti nasinya paling banyak, sehingga mengenyangkan.
Makanan ini kelihatannya ya hanya nasi dengan ayam goreng tepung dan sambal matah. Ada tambahan yang lain dari pada penyetan ayam biasanya, yaitu selada, rajangan kol dengan mayones seperti makanan Korea di satu restoran bergambar tawon di Jogja.
Yang menjadi repot dengan rice bowl adalah cara makannya. Dengan diletakkan di atas meja yang halus melicin, mangkuk jadi bergerak, sulit untuk menyendok nasi dan ubarampe-nya itu.
Saya pikir, hal ini karena pantat mangkuk dengan kaki ini berpermukaan sempit sehingga mudah bergerak.
Saya kemudian ingat suatu acara Jepang “TV Champion” di televisi. Terdapat satu episode berisi lomba membuat mangkuk keramik dan yang dinilai antara lain adalah apakah mangkuk tersebut mudah dipegang.
Ya, dipegang dengan sebelah tangan. Jari telunjuk mengait pada kaki atau pantat mangkuk yang bergelang itu, sementara jempol mengait pada bibir mangkuk. Saya coba praktikkan, dan kemudian ternyata sangat mudah mengambil nasi dari mangkuk dengan dipegang seperti itu.
Mungkin kita makan di restoran itu secara hibrida. Rasanya nama “ricebowl” adalah jenis makanan Barat sehingga kita makan dengan cara Barat pula: diletakkan di meja. Namun, mangkuk cekung parabolik itu cenderung Jepang, atau Oriental, yang biasanya orang makan dengan cara memegang wadah dengan satu tangan, bukan meletakkannya di atas meja. [z]
Pasuruan, 24 November 2023