Air dan Toponim
\
Air merupakan keperluan makhluk hidup, termasuk manusia. Maka, sering kali permukiman dibangun di sekitar keberadaan air dalam bentuk sungai atau telaga. Proses yang dahulu terjadi ini sebagian masih tersisa dalam toponim yang digunakan untuk memberi nama suatu satuan wilayah seperti kampung atau wilayah administratif.
Ci, cai
Di Jawa Barat, ci atau cai berarti ‘air’ dalam bahasa Sunda, yang konon mungkin merupakan pengaruh kata Cina, cui.1 Karena banyak sungai menggunakan awalan ‘ci’, apakah dahulu kata ini juga berarti sungai? Ciliwung barangkali dulu disebut Ci Liwung sehingga Kali Ciliwung berarti Kali Kali Liwung?. Juga Cisadane, Citarum, Citanduy …
Banyak nama tempat (kemudian) menggunakan ‘awalan’ ci, mulai Cirebon hingga Ciamis, dari Cikoneng hingga Cibeureum. Di Jawa Tengah bagian barat juga terdapat nama Cilacap dan Cilongok. Saya tidak tahu, apakah tempat-tempat tersebut juga berasosiasi dengan kali. Ciater memang memiliki sumber air (panas) yang mestinya turun menjadi kali.
Cijantung (Jakarta Timur) = Air Jantung? Ciburial (Bandung)? Meski toponim di administrasi level atasnya adalah Cimenyan (=air kemenyan?), saya yakin kata “burial” di situ bukan berasal dari bahasa Inggris yang berarti pemakaman.
Akan tetapi terdapat kemungkinan bahwa kata ci tidak berkait dengan air, melainkan dengan kata sandang seperti “bung” dan “sang”. Hal ini dikemukakan dalam artikel “‘Ci’ dalam Toponimi Wilayah Bukan Berarti Air”.2
Banyu, air, tirta
Banyu, alias air, mungkin seperti ci atau cai tadi. Di Semarang terdapat Banyubiru dan Banyumanik, di Purworejo terdapat Banyuurip. Terdapat pula kota Banyumas di sisi barat Provinsi Jawa Tengah dan Banyuwangi di Jawa Timur. Di Imogiri, Bantul, terdapat toponim Banyusumurup, yang mungkin berarti air yang masuk (ke bumi atau ke tanah). Masih di Yogyakarta, terdapat toponim Banyuraden di Kabupaten Sleman.
Di Pulau Lombok terdapat kampung Banyumulek, tempat kerajinan gerabah dibuat. Saya belum tahu apakah kata “banyu” dalam bahasa Sasak juga berarti air seperti di Jawa. Salah satu kata yaitu aik, yang berarti “air”, digunakan untuk toponim Aikmel (=Air Dingin) di Lombok Timur.
Saya tergoda untuk mengartikan nama desa Toya di Kecamatan Aikmel tersebut dengan air, karena kebetulan terdapat banyak sumber air di desa tersebut. Akan tetapi, ternyata dalam bahasa Sasak, toya berarti “jauh”.
Yang lebih mudah dipahami adalah toponim dengan kata “air”, seperti Air Hitam Besar dan Air Hitam Hulu di Ketapang, Kalimantan Barat.
Istilah lain untuk air adalah tirta. Beberapa toponim mengandung kata tirta atau tirto, seperti Tirtonirmolo di Bantul, Nogotirto, Tirtoadi, dan Sendangtirto di Sleman. Dusun Tirto berada di Salam, Kabupaten Magelang.
Yeh, toya
Dalam bahasa Bali, air dapat disebut yeh atau toya, mungkin juga yang lain. Maka terdapat toponim seperti Yeh Gangga dan nama-nama di pantai yang lain. Juga terdapat toponim seperti Toya Bungkah (Air dari Batu Besar) di Kintamani.
Setu, situ
Masih berkait dengan air, di Jakarta terdapat berbagai setu, atau situ bagi orang Jawa Barat. Arti kata tersebut adalah danau. Sering kali orang menyebut ‘Danau Setu Babakan’ untuk ‘kolam besar’ di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan ini. Nama Setu Babakan kemudian menjadi nama kampung yang sekarang disebut Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Kata “situ” dalam arti danau mungkin melekat pada nama kota Situbondo.
Kadang nama fenomena alamlah yang mengambil nama tempat, seperti Situ Bagendit yang mengambil nama dari dusun Bagendit di dekatnya.
Telaga, tlogo
Kata telaga, atau tlogo juga sering digunakan untuk toponim, seperti dusun Tlogo di Prambanan, Klaten, yang kadang disangkutkan dengan dugaan adanya perangkat keairan (yaitu telaga) yang berhubungan dengan Candi Prambanan. Masih di Klaten, terdapat toponim Tlogorandu di Kecamatan Juwiring.
Rawa, ranca
Wadah air dalam bentuk yang besar juga tertinggal dalam toponim dengan kata “rawa”, seperti Rawabadak, Rawabuaya, Rawabebek, dan Rawamangun di Jakarta. Bahkan, terdapat toponim kampung Rawa di Jakarta Pusat. Di Temanggung, Jawa Tengah, terdapat Rawa Seneng, tempat satu biara Katholik berada. Jangan lupa pula, terdapat Ambarawa, kota yang berada di dekat Rawa Pening, Kabupaten Semarang.
Kabupaten Tulungagung di Jawa Timur, dahulu bernama Ngrowo.
Sementara itu, ranca yang juga berarti “rawa” tersemat dalam toponim Rancaekek (Kab. Bandung) dan Rancamaya (Cilongok, Banyumas dan Bogor).
Kali, batang, krueng
Di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY, toponim desa dengan kata “kali” cukup banyak, misalnya Kalirejo dan Kalibawang di Kulon Progo, Kaliurang dan Kalirase di Sleman, Kalipeh (Nglipeh) dan Kalipoh (poh=mangga) di Magelang. Di Wonosobo terdapat misalnya Kaliwiro, di Banjarnegara terdapat Kalilunjar.
Tidak hanya di “Jawa”, di Jakarta juga terdapat toponim Kalideres, Kalilio, dan Kali Apuran.
Kalifornia tentu tidak termasuk dalam kategori ini. Kalimantan?
Istilah untuk menyebut sungai yang kemudian menjadi toponim wilayah tentu tidak hanya kali. Sebutan batang di wilayah Sumatra juga terbawa, seperti Kabupaten Batang Hari, yang dilintasi Batang Hari, alias Sungai Hari. Istilah lain misalnya adalah krueng di Aceh.
Sendang, tuk, umbul, belik, sumber, seke
Sendang, tuk, dan umbul, juga belik dan sumber yang berarti sumber air juga melekat pada beberapa toponim, misalnya Sendangrejo di Minggir, dan Sendangadi di Mlati, keduanya di Sleman, dan Tuksongo di Borobudur, Magelang. Di Yogyakarta terdapat Umbulharjo (kota Yogyakarta) dan Umbulmartani (Sleman). Sendangpitu sempat menjadi nama salah satu pabrik gula di Sleman (Minggir) pada masa Kolonial. Di Pemalang terdapat Kecamatan Belik. Toponim Sumberrejo atau Sumberejo dapat ditemukan di beberapa kabupaten di Jawa Tengah, sementara Sumbermartani berada di Sleman.
Tulungagung mengandung kata tulung yang dapat berarti “sumber air”. Di sebelah barat Delanggu, Klaten, juga terdapat Kecamatan Tulung yang memiliki banyak sumber air.
Di Jawa Barat juga digunakan kata seke yang berarti “sumber”. Misalnya adalah Sekelimus di Kota Bandung. Di Jatinangor (Sumedang) dan Rangkasbitung bahkan terdapat toponim Ciseke. Mungkin hal ini mirip dengan toponim Banyumudal di beberapa tempat di Jawa Tengah (Pemalang, Wonosobo, Kebumen), mudal adalah sumber air. SMA saya dulu berada di Bayeman Mudal, Magelang.
Sumur
Tidak hanya fenomena alam, fenomena buatan terkait dengan air juga digunakan dalam toponim, seperti Sumurbatu di Jakarta dan Sumurbandung, di Bandung tentunya. Di Yogyakarta, tempat UGM berada adalah Bulaksumur.
Leuwi, lubuk, kedung
Di Jawa Barat terdapat toponim dengan awalan leuwi yang berarti “lubuk” atau “kedung”, yaitu bagian dalam dari sungai. Sebagai contoh toponim ini adalah Leuwidamar di Lebak dan Leuwipanjang di Bandung. Di Sumatra Selatan terdapat Lubuk Linggau, dan di Jawa Timur terdapat Kedungbrubus (Kabupaten Madiun).
Tuban
Kata tuban ternyata dasa nama3 dari air dalam bahasa Jawa. Toponim Kota Tuban di Pantura Jawa Timur boleh jadi berarti “air”.
Segara
Dalam skala yang lebih besar, terdapat segara atau lautan. Toponim ini melekat pada Segarayasa (Pleret, Bantul) yang berarti “laut buatan”. Nama “segaran” digunakan juga pada bagian tertentu dari Tamansari, Yogyakarta, dan kolam besar di Trowulan, Mojokerto.
Mungkin Samudra Pasai, nama kerajaan Islam awal dulu di wilayah Aceh, dapat dimasukkan ke dalam “air banyak” ini. Akan tetapi, “samudra” dalam toponim tersebut diceritakan dalam tradisi sebagai berasal dari kata semut dan raya, yang berarti semut besar, bukan air banyak atau besar.
***
Toponim mungkin muncul secara alami terkait dengan fenomena tertentu di masa lalu, namun dapat pula rekaan dalam arti lebih berkait dengan sistem penamaan tertentu atau harapan di masa depan.
Nama lima kelurahan di Kepanewon (=Kecamatan) Mlati, Sleman, kemungkinan berdasar hal ini karena memiliki keteraturan yaitu semua menggunakan awalan berupa kata terkait fenomena keairan dan kata adi di bagian belakang yang berarti “baik”: Sendangadi, Tirtoadi, Sumberadi, Tlogoadi, dan Sinduadi. Sindu merupakan dasanama dari air. Sindu merupakan salah satu sungai penting di India, yang juga dikenal dengan nama Indus.[z]
Disclaimer: Mungkin makna kata sebenarnya berbeda dari yang disebutkan dalam artikel ini. Beberapa penafsiran dilakukan berdasarkan pengertian dalam bahasa Jawa atau bahasa Indonesia.