Culturepreneur dan Arkeologi
\
Dikembangkan dari materi yang disampaikan pada workshop Culturepreneur, kerja sama Departemen Arkeologi FIB UGM dan Mitra Praja Utama, Rembang 26 Januari 2024.
Salah satu definisi culturepreneur adalah “konsep bisnis yang menekankan pada pemanfaatan warisan budaya untuk tujuan kewirausahaan dan pengembangan kota.” Culturepreneur merupakan bagian dari Ekonomi Baru (New Economies) yaitu Ekonomi Berbasis Pengetahuan (Knowledge-based Economy). Ekonomi ini berfokus pada produksi dan penggunaan pengetahuan, informasi, dan teknologi sebagai aset utama.
Culturepreneur potensial untuk dikembangkan karena umumnya aktivitas ini mengeksplorasi sumber daya setempat (seperti objek arkeologi, kesenian setempat) sehingga komoditas yang dihasilkan akan bersifat unik, berbeda dari yang lain. Ikatan dengan komunitas setempat juga membuat bisnis ini akan berkelanjutan.
Arkeoprener, culturepreneur di bidang arkeologi
Arkeologi adalah ilmu, yang berarti tindakan arkeologi akan menghasilkan pengetahuan. Pada gilirannya, pengetahuan ini dapat dikapitalisasi untuk tujuan sebagaimana disebut di atas, yaitu kewirausahaan dan pengembangan kota.
Mengingat di Indonesia UUCB menggariskan bahwa pemanfaatan merupakan bagian dari pelestarian, dan pemanfaatan tidak boleh bertentangan dengan tujuan pelestarian itu sendiri. Oleh karena itu semestinya upaya kewirausahaan dan pengembangan kota setidaknya tidak bertentangan dengan tujuan pelestarian dan semestinya merupakan bagian dari upaya pelestarian itu.
Dalam pemanfaatan sumber daya arkeologi, bisnis dengan pendekatan culturepreneur dapat mendatangkan pembiayaan untuk pemeliharaan, dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat, serta dapat dilakukan dalam berbagai skala.
Dasar yang perlu digunakan dalam pengembangan bisnis berbasis warisan budaya adalah pertimbangan bahwa kegiatan harus berkelanjutan atau sustainable dan mendapat landasan akademis. Pada sisi keberlanjutan, pendekatan partisipatoris perlu dilakukan, juga memperhitungkan daya dukung dari sumber daya agar tidak terjadi eksploitasi berlebihan. Pada sisi akademis, kajian-kajian perlu dilakukan untuk mendukung pemanfaatan agar dapat berjalan pada koridor pelestarian dan tentunya untuk menjaga akurasi informasi yang disampaikan.
Pemanfaatan sumber daya arkeologi di perkotaan dari sisi culturepreneur antara lain adalah 1) Sebagai venue, 2) sebagai inspirasi pengembangan komoditas. Sebagai venue, warisan budaya perkotaan dapat digunakan sebagai tempat kursus/kegiatan edukatif budaya, tempat kegiatan rekreatif/ODTW/kafe, atau lokasi kegiatan ekonomi lain misalnya Factory Outlet yang sering menggunakan bangunan unik.
Sebagai sumber inspirasi komoditas, berbagai objek dapat dipelajari untuk membuat produk-produk bernilai jual, seperti kerajinan (baru) berbasis warisan budaya atau untuk kegiatan edukasi/rekreasi seperti workshop dan tour/wisata warisan budaya.
Culturepreneur juga dapat dilakukan dengan aktivitas restorasi bangunan warisan budaya. Untuk dapat dimanfaatkan, sering bangunan cagar budaya harus direnovasi dengan tenaga ahli yang kompeten dan upaya ini membuka peluang untuk pengembangan bisnis renovasi bangunan ini sehingga tetap terjaga nilai pentingnya ketika dimanfaatkan.
Dua sisi keuntungan
Sebagai hasil dari culturepreneur, atau mungkin arkeoprener, adalah dua sisi: dapat mendatangkan keuntungan secara finansial, di sisi lain juga menjaga warisan budaya karena masyarakat dapat mengenal objek arkeologis, mendapatkan manfaat edukasi yang disebarkan melalui komoditas yang dihasilkan, dan mendapatkan sumber inspirasi yang harus selalu dirawat.
Langkah pengembangan culturepreneur di bidang arkeologi.
Untuk mengembangkan bisnis dengan berbasis dari suatu warisan arkeologis dapat menempuh langkah sebagai berikut.
- Memahami potensi heritage yang tersedia, misalnya mengetahui bentuk tinggalan arkeologis, sejarah, dan nilai-nilai yang terkandung, serta hubungannya dengan masyarakat.
- Mengidentifikasi peluang, yaitu mencari cara untuk memanfaatkan tinggalan tersebut dari sisi bisnis, misalnya untuk mengembangkan produk baik benda maupun layanan semacam even budaya, edukasi, maupun wisata.
- Mengembangkan produk, baik benda maupun layanan, yang memanfaatkan nilai unik termasuk keaslian dari tinggalan tersebut. Lihat pula kesesuaian produk dengan kebutuhan dan preferensi pasar.
- Memvalidasi konsep bisnis ke pasar sebelum meluncurkan produk. Identifikasi target pasar potensial dan minta umpan balik dari mereka untuk mengetahui apakah produk akan mendapatkan tempat.
- Melakukan pemasaran dan promosi yang efektif. Dalam hal ini, informasi tentang tinggalan arkeologis yang diambil dapat menjadi bagian dari pesan pemasaran untuk menarik minat konsumen.
- Menjalin kemitraan dan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait seperti komunitas lokal, lembaga budaya, atau pelaku industri lain, untuk mendapatkan dukungan, meningkatkan visibilitas, serta memperluas jangkauan bisnis. Cari juga cara untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
- Melakukan evaluasi dan buat penyesuaian jika perlu, untuk beradaptasi dengan perubahan tren atau keperluan konsumen.