Kosakata
\
Kata dalam bahasa Indonesia terlalu sedikit? Kosakata dalam bahasa Indonesia miskin? Pada tulisan ini saya tidak membahas hal itu dalam kaitan dengan satu siniar yang sedang tersebar luas. Rasanya tidak sanggup nonton acara daring sepanjang (konon) 2,5 jam itu.
Seberapa banyak kata yang perlu kita kuasai, kosakata kita, perbendaharaan kata kita, sehingga dapat dengan leluasa berekspresi?
Saya duga, kita menguasai sebagian saja dari kosakata yang terdaftar di kamus. Kata-kata itu adalah kata yang sering kita gunakan sehari-hari atau untuk keperluan tertentu. Sebagian akrab dengan kita, karena begitu intensif kita gunakan, dan tidak perlu lagi memikirkan artinya. Sebagian jarang kita gunakan dan kadang harus mengernyitkan dahi atau menengok kamus, mencari rujukan, untuk memastikan maknanya, seperti saat menulis artikel ilmiah.
Sebagian besar kata mungkin kita lompati arti tepatnya per kata, tetapi kita menangkap maksudnya.
Bahasa adalah ungkapan, pernyataan, atau ekspresi, dari gagasan. Jika kita terbiasa menggunakan logika Jawa, mungkin hal ini akan tercermin dalam pernyataan bahasa kita, yang begitu khas. Kebiasaan berpikir dengan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, saya kira sama saja, akan memunculkan pernyataan bahasa yang khas.
Pergaulan dengan kalangan tertentu memaksa kita untuk berpikir dan nantinya berekspresi dengan cara khusus yang diterima di kalangan itu. Komunikasi kemudian akan dapat berjalan dengan lancar karena sepaham, tidak perlu menterjemahkan maksud dari pembicaraan seseorang.
Suatu kata akan hidup tergantung pada situasi zaman. Ketika anak hewan tidak penting dibedakan, maka tidak perlu menggunakan kata sawiyah untuk menyebut anak cicak. Atau sekarang kita di Jawa lebih sering menggunakan istilah “anak kucing” daripada cemeng, dan kita semua paham.
Maka boleh jadi beragam kata untuk menggambarkan “seseorang jatuh” akan terkurangi menjadi “jatuh” saja, dan tidak membedakan antara tiba, kejengkang, dan kejlungup, ketika kita hidup pada zaman yang tidak memerlukan rincian itu.
Kita juga memiliki kosa kata yang membedakan padi, beras, dan nasi. Mungkin bahasa Inggris hanya menyebutnya dengan satu kata: rice. Karena intensitas keterlibatan sesuatu dengan (budaya) kita, maka kita memiliki banyak kata untuk hal tersebut.
Hal itu berarti juga tidak ada perangkat dalam praktik bahasa yang memerlukannya sehingga istilah-istilah tertentu tetap lestari. Misalnya, dalam khazanah budaya Jawa terdapat penciptaan tembang yang memerlukan dasa nama, atau nama lain, dari suatu hal agar sesuai dengan aturan tembang tersebut, bisa karena jumlah suku kata atau bunyi di akhir kata.
Terkait dengan hal ini, mungkin puisi juga berguna untuk melestarikan berbagai kata dalam bahasa Indonesia. Para penyair saya rasa memerlukan kata yang cukup banyak untuk dapat menyampaikan suatu gagasan dengan tidak biasa. Mungkin dengan indah.
- Baca juga: Anak hewan
Akan tetapi, penggunaan kata dalam bahasa Indonesia terdesak karena lebih banyak hal lagi. Misalnya, masalah gengsi atau komunikasi pemasaran yang membungkus dengan kata-kata asing yang membuat terasa gengsi. Minggu lalu beredar di wag satu iklan lowongan kerja dari satu restoran yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal saya menawarkan posisi-posisi: waiters, cleaning service, security, dan diswasher.
Ingat juga acara memasak di televisi, yang bertabur istilah-istilah asing. Sebagian (besar) di antara istilah itu, menurut pengamatan awam saya, dapat diganti dengan kata kita sendiri.
- Baca juga: Kosa Kuliner Nusantara.
Ketika banyak budaya lain wilayah menyerbu masuk, maka akan intensif digunakan kata yang menyertainya. Beberapa pihak seperti otoritas di bidang bahasa mungkin akan mengendalikan penggunaan istilah asing atau serapannya dengan menyediakan penggantinya.
- Baca juga: Bahasa Indonesia untuk Jagad TI
Apakah keterbatasan kosa kata membuat kita tidak dapat berekspresi dengan baik? Saya rasa kita akan mencari cara untuk melakukannya, misalnya dengan menggunakan frasa atau kalimat yang lebih panjang. Mungkin ada yang merasa hal ini tidak efektif dan mencari kata yang lebih singkat.
Ada banyak ciptaan kata baru yang tiba-tiba saja menjadi kata tanpa kita sadari bahwa ada proses di baliknya. Proses itu dapat berupa penyingkatan atau pembuatan akronim. Ingat, ada istilah sembako, yang bahkan sebagian dari kita rasanya tidak tahu bahwa kata tersebut, atau istilah tersebut, berasal dari “sembilan bahan kebutuhan pokok”. Tidak banyak pula yang tahu apa saja yang sembilan itu.
Jika ingin menambah kosa kata, kita perlu menggunakan bahasa Indonesia untuk berbagai keperluan. Nanti, akan terjadi benturan-benturan keperluan yang memaksa kita memikirkan kata baru: apakah akan membangkitkan yang sudah mati, membuat ciptaan baru, atau menyerap (saja) dari kata asing yang sudah tersedia.
Dengan demikian, bahasa Indonesia akan menjadi hidup. Selalu hidup. [z]
***
Sekti, pengguna bahasa.