Dalan Ireng
\
Sejatinya saya ingin mengikuti konferensi mini valediktori untuk Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra yang diselenggarakan seharian ini tadi oleh Departemen Antropologi FIB UGM. Namun akhirnya saya hanya mengikuti acara tersebut lewat Youtube, itu pun setelah seorang teman kuliah membagi tautannya.
Sambil mengikuti secara-tak-langsung acara tersebut, saya mencoba mengingat beberapa ilmu yang diberikan Pak Heddy dalam beberapa kuliah–saya sempat diajar satu atau dua mata kuliah di S2 Antropologi, dan dua mata kuliah di S3 Ilmu-Ilmu Humaniora. Banyak hal yang disampaikan para pembicara dalam konferensi tersebut yang mengingatkan saya akan materi kuliah Pak Heddy.
***
Kebetulan beberapa hari ini pada jalan di depan rumah sedang dilakukan pengaspalan oleh pemerintah desa. Sewaktu sore hari saya tiba di rumah, gendhuk kecil saya bertanya: “Kok jalannya hitam, Pak? Yang sebelah sana abu abu.”
Saya teringat pada peristiwa hampir seperempat abad yang lalu, saat saya belum menjadi murid Prof. Heddy. Kami, tim dari Jurusan Arkeologi, sedang melakukan penelitian di Gunungkidul. Ketika mencari arah suatu tempat, penduduk yang kami tanya kurang lebih menyatakan, “Ke arah sana dan nanti akan bertemu dengan dalan ireng.”
Jalan hitam.
Tentu ini bukan kata kiasan yang berarti jalan sesat melainkan betul-betul berwarna hitam seperti pemahaman anak saya tadi, warna jalan aspal yang baru. Jalan lain di ‘sebelah sana’ telah berusia tua, lama, dan berwarna abu-abu karena debu dan kotoran lain yang melekat pada aspal.
Jalan ini penting untuk menjadi hitam, atau dianggap hitam, atau dibicarakan hitamnya, karena hitam itu tadi, yang berbeda dari lainnya. Anak saya melihat warna hitam itu tidak biasa karena jalan-jalan lain yang ia lihat berwarna abu-abu. Penduduk di Gunungkidul perlu menyebut jalan itu hitam, karena jalan-jalan lain berwarna putih, khas daerah karst atau kapur.
Kami, para peneliti dari kampus kota ini, akan menyebut jalan itu sebagai jalan aspal. Bukan warnanya yang penting, melainkan bahannya.
Saya rasa ini adalah kategorisasi atas pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat berdasar kebiasaan. Boleh jadi Pak Heddy akan membicarakannya dalam konteks etnosains, untuk mengungkap pengetahuan masyarakat, khususnya Gunungkidul, yang terbiasa membagi alam mereka dengan cara tertentu. Dalam hal ini adalah pembagian jenis jalan berdasar warnanya.
Atau mungkin, pembicaraan akan terkait dengan strukturalisme, bahwa adanya penyebutan warna hitam adalah karena ada warna lain, yaitu putihnya jalan batu kapur.
Bisa jadi tidak keduanya, karena mungkin Pak Heddy akan berkata seperti biasa, “Tidak sesederhana itu, Mas!” Pengetahuan Pak Heddy sangat luas dan berjejaring-silangan seperti jalan hitam, putih, dan abu-abu tadi.
***
Semoga Pak Heddy selalu sehat dan ilmu yang diberikan kepada murid-muridnya akan menjadi amal jariyah beliau.[z]