Gauk dan Suara Kota
\
Suara kota berubah-ubah sepanjang masa. Perkembangan kawasan, teknologi, memengaruhinya. Bukan hanya bunyi suara yang berubah, makna suara juga berubah, selain tentu memang beragam.
***
Gauk, di selatan kota Yogyakarta berbunyi setiap pagi dan siang, menandai pergantian regu kerja (shift) dari para pekerja di Pabrik Gula Madukismo. Para pekerja di pabrik akan bersiap pulang dan regu kerja baru bersiap untuk masuk. Suara ini juga menjadi tanda waktu bagi warga kota yang telah menghafal bahwa gauk akan berbunyi pada waktu-waktu tertentu.1
Makna gauk juga dapat berubah, misalnya dari masalah ketakutan ke kegembiraan. Di kota Yogyakarta setidaknya terdapat enam menara dengan gauk di ujungnya, yaitu di Pasar Beringharjo, di Lempuyangan, di Jalan Sultan Agung (bekas Bioskop Permata), di atas Plengkung Gading, di menara bekas Hotel Tugu, dan di Serangan. Dahulu sirene ini digunakan untuk menandai akan adanya serangan udara. Ketakutan, setidaknya kekhawatiran, pasti mewarnai warga kota yang mendengar suara gauk itu pada masa penjajahan.
Namun, sekarang gauk ini tidak lagi menjadi penanda adanya serangan yang bisa mematikan warga, melukai, setidaknya membuat suasana mencekam. Gegauk ini sekarang menjadi pertanda kegembiraan. Beberapa gauk dibunyikan saat terdapat perayaan tertentu, misalnya peringatan Kemerdekaan tanggal 17 Agustus. Gauk juga dibunyikan saat azan magrib pada bulan Ramadan.
Kegembiraan menjadi makna dari suara gegauk ini, yang saat berbunyi akan campur baur dengan suara-suara kota yang lain, entah klakson kendaraan maupun azan dari pelantang di masjid.
Di masa penjajahan, bunyi meraung dari gauk akan membuat kota senyap. Sekarang, bunyi sirene itu menjadi bagian dari soundscape kota yang riuh rendah. [z]
Catatan Kaki
- Saya memilih untuk menulis gauk daripada gaok. Pengucapan di Yogyakarta adalah ga-oog. [↩]