Mengkritisi “Arkeologi Kritis”
\
Judul ini lebih berupa permainan kata daripada betul-betul membahas buku ini secara kritis.
Mas Andre Donas, alumnus Arkeologi Universitas Indonesia, di sela kesibukan dalam bisnis kreatif, menyempatkan diri membaca dan menulis berbagai hal tentang arkeologi. Tulisan-tulisan ini kemudian dibukukan mungkin di tahun 2023 atau 2024. Saya sebut mungkin, karena tidak tercantum tahun penerbitan, juga data lain yang biasanya dijumpai di awal-awal halaman.
Mungkin ketiadaan halaman data terbitan adalah karena penerbitnya bernama “Luar Kotak”. Sebagai dapat dibaca pada bagian pengantar, nama penerbit ini sengaja dipilih untuk menyatakan pikiran-pikiran yang berada di luar kotak (arkeologi). Buku ini juga menonjok otak, karena begitu dibuka, setelah sampul dalam pembaca akan langsung bertemu dengan “Prolog” yang ditulis oleh Pak Nurhadi Magetsari. Daftar isi menyusul setelah pengantar dari penulis. Dari sisi penyajian konten ini, terutama bagian depan, betul-betul buku ini di luar kotak kebiasaan.
Judul “Arkeologi Kritis” sebagai judul setidaknya tergambar pada dua artikel, yaitu “Arkeologi Kritis 1” dan “Arkeologi Kritis 2” di antara 17 artikel pada buku ini, di luar artikel pengantar dan epilog. Pengantar (“Prolog”) dari Pak Noehadi Magetsari sendiri mendudukkan perkara Arkeologi Kritis secara teoretis dengan sangat banyak rujukan yang dicantumkan. Sementara itu, “Epilog” dari Pak Ali Akbar lebih menjelaskan posisi Mas Andre terhadap Arkeologi Kritis.
Meski menyebut tiga pengertian Arkeologi Kritis, kover buku ini memperlihatkan bahwa Mas Andre memilih salah satu: Arkeologi yang berada di ICU, sedang sekarat. Visual berupa grafik yang biasa ada di monitor ruang perawatan intensif rumah sakit itu menandakan hal ini. Akan tetapi, untungnya gambar grafik tersebut masih naik-turun, bukan datar ….
Banyak kegelisahan Mas Andre yang dituang dalam artikel-artikel di buku ini, mulai dari pengelolaan warisan hingga diplomasi budaya. Tak kalah penting dari itu semua adalah sentilannya pada arkeolog “dalam kotak” agar terus menulis, agar gagasan tak hanya menjadi candu di dalam otak (hlm. 27).
Seturut hal itu, buku ini menjadi penting karena mengisi kekosongan publikasi arkeologi “perantara”, yang menjembatani antara arkeologi dalam kotak dan publik. Buku ini juga memberi jembatan bagi praktisi arkeologi kepada teori karena bacaan referensi yang sangat kaya dari Mas Andre yang diterjemahkannya untuk membahas berbagai kasus. [z]