Sumbu Filosofi dan Ritus Daur Hidup
\
Disampaikan di Dinas Kebudayaan DIY, 26 Juni 2024.
Tidak mudah menghubungkan sumbu filosofi dan daur hidup. K.P.H. Brongtodiningrat1 memang pernah mengemukakan bahwa sumbu filosofi mengalir dari Panggung Krapyak ke Tugu menggambarkan perjalanan seseorang dari lahir hingga dewasa. Berbagai atribut di sepanjang sumbu ini menyimbolkan fase-fase dalam kehidupan seseorang.
Namun, kehidupan warga di sekitar sumbu tidak terkait dengan simbol-simbol tersebut secara langsung. Upacara pernikahan misalnya, diselenggarakan di semua kampung, dengan tata cara yang sama dalam garis besar atau intinya.
***
Sumbu filosofi yang ada di Kota Yogyakarta adalah penataan kawasan kota meski hanya satu jalur. Dari jalur tersebut terlihat penggal utara dan penggal selatan memiliki perbedaan jika mengikuti pendapat Kanjeng Brongto. Prosesi daur hidup keluarga keraton yang mengarah ke selatan terkait dengan kematian (untuk dimakamkan di Imogiri jauh di selatan kota), sementara arah utara lebih kepada kehidupan, (pesta resepsi perkawinan putri-putri sultan yang kadang dilakukan di Bangsal Kepatihan, ke arah utara dari keraton).
Hal ini sejalan dengan rona kota yang lebih terbuka pada bagian utara dan tertutup, dalam, di bagian selatan. Kota-kota di Jawa dapat dikatakan menghadap ke utara, ke arah pesisir (utara).
Dalam penataan kampung, orang-orang asing, yaitu non-Jawa, diletakkan di utara, demikian juga para pejabat kerajaan. Maka, keberadaan orang-orang asing ini sebenarnya juga bagian dari tata kota yang diwakili dengan sumbu filosofi.
Konsekuensinya, berbagai ritus daur hidup yang diselenggarakan semua warga yang berada di kampung-kampung di Kota Yogyakarta, di antara Sungai Winongo dan Sungai Code, merupakan bagian warisan budaya dari kawasan sumbu filosofi.
Maka terdapat keragaman yang cukup luas dari upacara daur hidup yang dilakukan oleh berbagai kelompok warga. Misalnya, upacara pernikahan dari beragam etnis atau agama, dapat diidentifikasi ritusnya, berbagai peralatan, partisipan, berbagai tempat yang digunakan untuk setiap tahap upacara dari warga, serta makna dari ritus, peralatan, bagian atau dari upacara secara keseluruhan.
Jika kekayaan tersebut dianggap sebagai keragaman horizontal, maka terdapat pula keragaman vertikal. Keragaman ini tekait dengan tradisi yang dijalani di kraton dan tradisi serupa yang berada di masyarakat umum. Memang tidak terdapat perbedaan yang besar karena inti upacara satu kelompok etnis ini mestinya sama. Perbedaan terjadi misalnya pada detil-detil seperti ketaatan pada aturan.
***
Hal-hal beragam ini memang tidak terdapat pada “Dossier” yang diajukan oleh DIY kepada Unesco. Pada naskah pengajuan Sumbu Filosofi sebagai Warisan Dunia telah ditentukan komponen fisik (disebut “atribut”) dan aspek takbenda yang melekat padanya.2 Namun keragaman ini menjadi bagian dari kekayaan budaya di sekitar sumbu filosofi yang merupakan cerminan dari masyarakat yang menghidupkan kawasan.Pemaknaan atas sumbu filosofi hendaknya memang bercakupan luas, tidak terbatas sebagai Warisan Dunia. Kita semua dapat memaknai dengan beragam cara. [z]
Catatan Kaki
- Brongtodiningrat 1978. Arti Kraton Yogyakarta. Museum Kraton Yogyakarta. [↩]
- “… some of the key elements, their relationship to the values of the nominated property, and the location where they are performed …” The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks, Nomination Dossier, hlm. 76. [↩]