Tidar
\
Tidar, bukit kecil di selatan Kota Magelang, bukanlah yang asing bagi saya. Sekitar empat puluh tahun yang lalu saya tinggal di lembahnya, beberapa ratus meter dari bukit tersebut, atau dalam bahasa Jawa disebut gunung. Mendaki ke atas Gunung Tidar sekali saat itu, menjumpai tonggak kecil dari semen, barang kali setinggi dua meter, yang berada di semak-semak dan rerimbunan pohon.
Waktu itu rasanya Gunung Tidar belum menjadi tujuan wisata seperti sekarang. Saya masih naik dari lapangan Gelanggang Remaja, melalui jalan setapak. Sekarang akses yang mudah terdapat di sisi timur, di sisi barat bekas terminal Tidar. Setelah membeli tiket pengunjung akan melalui jalan naik yang sudah dibeton dengan pagar di sisi kiri dan kanan. Melewati makam Cina, kemudian pengunjung akan juga melewati dua makam Islam yang ramai peziarah.
Di atas bukit, sudah terdapat beberapa fasilitas, termasuk monumen yang cukup besar. Di sisi timur juga terdapat warung-warung yang menyediakan makanan dan minuman hingga suvenir. Juga kacang yang dapat diberikan sebagai pakan untuk monyet-monyet yang banyak terdapat di tempat ini.
***
Jika sekarang Gunung Tidar sudah hijau rungkud dengan pepohonan, tidak seperti itu pada zaman dahulu. Ibu kos saya pernah menunjukkan foto bapak kos yang mayor tentara, yang berfoto di Gunung Tidar yang gundul.
Bukit Tidar juga tersebut dalam cerita silat Nagasasra dan Sabuk Inten, karya S.H. Mintardja. Penulis yang sekampung dan seusia dengan bapak saya ini menampilkan salah satu tokoh yang dinamai Sima Lodra, yang disebut berasal dari Bukit Tidar.
Mitos yang paling disebut masyarakat tentu bukan tentang Sima Lodra, tetapi tentang posisi bukit ini yang konon berada di tengah Pulau Jawa. Sering disebut pula bahwa Tidar adalah paku Pulau Jawa, yang menancapkan pulau ini ke bumi sehingga tidak hanyut. Oleh karena itu, sejak zaman Hindia-Belanda, logo Kota Magelang mengandung gambar paku.