Menelusur Makna Lukisan Prasejarah

\
Disampaikan pada Bedah Buku diselenggarakan oleh Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, 19 Maret 2025.
Data prasejarah cukup terbatas. Bantuan dari situs lain yang sejajar (masa dan budayanya), serta data etnografi, akan sangat berguna, namun diperlukan metode yang dapat diterima.
Dalam hal lukisan dinding gua, biasanya penelitian dilakukan untuk mengungkap teknik, usia, serta sebaran. Makna juga diteliti namun perlu pendekatan yang tersendiri. Pak Blasius menggunakan semiotika model Peircian.

Simbol dan struktur dalam arkeologi agak jarang disentuh dengan pendekatan-pendekatan yang berakar dari Saussure. Di antaranya terdapat Pak Agus Aris Munandar pada buku “Proksimitas” yang menggunakan semiotika Peircian di bagian belakang. Sementara itu Bu Niken WIrasanti pada buku “Candi dan Lingkungan” menyatakan semiotika lingkungan, tetapi tidak menjelaskan pendekatan yang digunakan, yang sepertinya malah cenderung struktural. Bu Indah Asikin Nurani menulis beberapa kali tentang strukturalisme Levi-Strauss, termasuk ketika membedah lukisan dinding gua. Mahasiswa sebenarnya cukup banyak yang menulis skripsi atau tesis dengan strukturalisme atau semiotika.
Fakta Buku
Judul: Makna Lukisan Dinding Gua Daerah Pangkep dalam Kehidupan Mesolitik: Perspektif Semiotika – Charles S. Peirce
Penulis: Blasius Suprapta
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta.
Tahun: 2018
Semiotika berasal dari pendekatan yang dikembangkan oleh ahli linguistik, Ferdinand de Saussure dengan menggagas adanya signifier (penanda, objek fisik), dan signified (petanda, konseptual). Kemudian pendekatan ini dikembangkan oleh Charles Sanders Pierce dan Roland Barthes menjadi semiotika. Nanti, di sisi lain, gagasan de Saussure ini juga dikembangkan oleh Levi-Strauss menjadi antropologi struktural.
Model Peirce mengembangkan gagasan de Saussure dari dua aspek menjadi tiga, yaitu representamen (bentuk tanda), objek (referensi di dunia nyata, atau referen), serta interpretan, yaitu pemahaman terhadap tanda tersebut. Karena terdiri atas tiga aspek, maka sering disebut triadik Peirce.
Yang dikerjakan dengan pendekatan ini adalah 1) mengidentifikasi objek atau tandanya, 2) menentukan objek atau referennya, 3) menentukan hubungan bentuk tanda dengan objek, atau tanda dan referennya, apakah bertipe ikon, indeks, atau simbol, 4) buat interpretan, yaitu maknanya, 5) buat kontekstualisasi agar makna ini terkonfirmasi lebih luas atau lebih dapat dipahami.
Dalam hal ini, Pak Blasius membuat hubungan antara bentuk, lokasi, tema lukisan (sebagai representamen atau disebutnya tanda/sign) dengan perilaku tertentu atau fauna mangrove, dan sebagainya (sebagai referen), dan menetapkan hubungan itu sebagai ikon, indeks, atau simbol, yang masing-masing hubungan itu adalah formal, contigous, serta arbitrer.
Hasil (interpretan) analisis komponen (semantik) atas ciri lukisan dan himpunan lukisan adalah beberapa tema, yaitu 1) tanda peringatan, 2) jenis hewan buruan, 3) perilaku terkait strategi penangkapan hewan air dan darat, 4) kesuburan, 5) hewan berbisa, dan 6) perilaku dalam strategi mengumpulkan makanan.
Pentingnya buku dengan pendekatan semiotika Peirce ini adalah bahwa kita menjadi sadar bahwa hasil sebuah penelitian hanyalah satu dari sekian kemungkinan. Untuk dapat menganalisis dengan model ini, peneliti harus menetapkan tanda dan objeknya. Jika berbeda objek yang ditetapkan, maka akan berbeda makna pula dari tanda yang sama.
Kekurangan kecil dari buku ini, adalah karena analisis yang cukup banyak. hampir sepertiga halaman dihabiskan untuk mendedah analisis yang dilakukan oleh Pak Blasius. Skema-skema triadik yang ditampilkan saat menganalisis juga menambah kerutan kening, karena kelihatannya layoutnya tidak tepat sehingga beberapa teks keterangan berbeda tempat dari yang seharusnya.
Judul buku juga click bait, meski ini lagi-lagi adalah urusan produksi buku. Pemenggalan “Makna Lukisan Dinding Gua” dan “Daerah Pangkep dalam Kehidupan Mesolitik” dapat membuat penangkapan yang berbeda. Pertama ini adalah buku tentang lukisan dinding gua secara umum, dan kedua, dapat terkesan membicarakan daerah Pangkep dalam kaitan dengan mesolitik (atas dasar lukisan dinding gua).
Rasanya banyak yang ditemukan oleh Pak Blasius dengan pendekatan semiotika Peircian ini. Tetapi di penutup, Pak Blasius kembali ke arkeologi konvensional (dengan merekonstruksi makanan) dan ke struktural (dengan melihat pengelompokan lukisan dinding gua). Tetapi ini mungkin transisi keilmuan Pak Blasius, yang kemudian menulis disertasi dengan pendekatan strukturalisme ala Levi-Strauss.
Namun saya anggap ini bonus saja, memberikan gambaran bahwa banyak hal yang dapat diungkap dan banyak pendekatan pula yang dapat digunakan terhadap “misteri” lukisan dinding gua.
Bagi yang ingin membaca buku ini, saya sarankan untuk membaca terlebih dahulu Penutup pada bagian B, yang menyampaikan jalan penelitian Pak Blasius ini. Membaca bagian ini akan mempermudah kita menjelajah tiga ratusan halaman sebelumnya, terlebih pada bagian analisis yang setebal seratusan halaman itu.
Sebagai penutup, saya merasa buku ini sangat berguna bagi yang tertarik untuk mempelajari makna tinggalan arkeologis. Metode yang dilakukan oleh Pak Blasius cukup jelas untuk dapat direplikasi di tempat lain. [z]